Nasib anak-anak yang berasal dari keluarga miskin dengan bekal kemampuan otak rata-rata yang standar saja memang tak beruntung di negeri ini.
Keinginan mereka untuk mendapatkan pendidikan di bangku sekolah dan kuliah di perguruan tinggi haruslah dipupusnya.
Ironisnya, keadaan seperti itu justru terjadi di saat anggaran pendidikan telah berhasil diperjuangankan sehingga mencapai 20% dari total APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara).
Alasan mahalnya biaya pendidikan selalu bernada klasik yaitu anggaran yang 20% dari APBN itu belum mencukupi untuk melaksanakan pendidikan gratis di sekolah-sekolah negeri.
Ajaibnya, ditengah keluhan anggaran yang tak mencukupi itu justru negara sangat berbaik hati membagi-bagikan anggaran uang negara itu tak hanya untuk khusus diperuntukkan bagi sekolah negeri saja, namun sekolah swasta pun ikut kebagian mendapatkan jatah uang dari anggaran APBN.
Hasilnya, sekolah-sekolah negeri menjadi tak bisa digratiskan dan sekolah-sekolah swasta pun tetap mahal.
Mungkin ada diantara kita yang masih bernafas lega dan merasa beruntung, lantaran mereka merasa bahwa anak-anak mereka tak akan terlantar dalam pendidikan, disebabkan dirinya merupakan karyawan kantoran yang bukan gelandangan dan pemulung.
Mereka merasa bahwa kerepotan lantaran biaya pendidikan itu hanyalah persoalan miliknya anak-anak dari kaumnya para pengemis dan gelandangan serta pemulung saja, bukan persoalannya anak-anak dari karyawan kantoran.
Ya, bisa jadi memang begitu, lantaran mereka adalah karyawan kantoran yang gajinya sangat memadai.
Atau, jika pun karyawan kantoran yang sesungguhnya gajinya juga tak memadai tapi anak-anaknya masih kecil sehingga belum merasakan mahalnya biaya pendidikan di zaman ini.
Atau, bisa juga mereka adalah karyawan kantoran yang gajinya tak memadai akan tetapi anaknya berotak brilian nan jenius sehingga anak mereka mendapatkan beasiswa untuk biaya pendidikannya.
Terlepas dari soal gaji yang memadai atau tidak memadai, dan perdebatan soal setuju atau tidak setuju dengan pendapat bahwa biaya sekolah di zaman ini memang mahal, yang jelas Menteri Diknas secara tersirat telah mengakui bahwa di saat ini memang biaya pendidikan itu mahal.
”Memang harus ada regulasi agar sekolah tidak memungut biaya terlalu mahal, hingga belasan juta” , kata Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional. ”Akan kita dorong (mekanisme) subsidi silang agar sekolah tidak menjadi eksklusif dan elite. Ini harus diatur. Kalau tidak, nanti sekolah X, misalnya, sudah (kumpulan) anak pintar, kaya-kaya lagi”, tuturnya.
Begitu pernyataan Mendiknas yang dimuat di harian Kompas dalam berita yang bertajuk “Pendidikan Kian Menguras Air Mata”.
Kembali ke pokok bahasan soal alasan mahalnya biaya pendidikan, biasanya alasan klasik yang lainnya adalah soal konsekuensi dimana sekolah yang berkualitas itu memang mahal biayanya.
Ya, bisa jadi begitu, biaya sekolah berkualitas memang mahal, sedangkan yang tak mahal itu berarti tak berkualitas.
Jika begitu, maka hasil produk dari sekolah tak berkualitas tentunya produk lulusannya juga tak berkualitas.
Akhirulkalam, berdasarkan alasan dan logika itu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa seluruh jajaran pemimpin negeri ini beserta seluruh menteri-menteri kabinetnya lengkap dengan semua anggota parlemennya itu semuanya merupakan hasil dari pendidikan yang tak berkualitas.
Lantaran mereka-mereka itu merupakan produk lulusan dari sekolah-sekolah di zamannya biaya sekolah masihbelum mahal alias masih murah .
Wallahulambishshawab.
*
Catatan Kaki :
- Artikel dengan tema terkait soal biaya pendidikan dapat dibaca di “SBY dan Biaya Pendidikan” .
- Artikel dengan tema lainnya dapat dibaca di “Gaji Lokal, Biaya Hidup Internasional” ,dan “Industri Pariwisata Gigolo Kuta Bali” ,serta “Indonesia Hamil Tua” ,dan “Pilih Sri Mulyani atau Susno Duadji ?” .
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H