Menara Petronas adalah sebutan bagi gedung kembar setinggi 452 meter yang pada tahun 1998 pernah memegang rekor sebagai gedung tertinggi di dunia.
Namun di tahun 2004 rekor tersebut beralih menjadi miliknya gedung Taipei 101 yang mempunyai ketinggian 508 meter.
Walau begitu, bangunan pencakar langit berlantai 88 yang berada di Kuala Lumpur ibukotanya Malaysia ini, sampai saat sekarang masih memegang rekor sebagai bangunan kembar tertinggi di dunia.
Gedung ini seakan telah menjadi flag dan simbol dari era kebangkitan dan kejayaannya Malaysia, yang seakan ingin mengatakan kepada dunia bahwa Melayu bisa juga berjaya.
Malaysia itu selama ini memang seakan terlingkupi dan dihinggapi oleh psikologi inferior dan perasaan minder terhadap tetangganya.
Betapa tidak, Malaysia yang penduduknya sekitar 60% beretnis Melayu, ini disisi timur perbatasannya langsung berhimpitan dengan Singapura yang begitu kesohor sebagai salah satu negara Asia yang telah lebih dulu meraih kemajuan dan kesejahteraan.
Singapura ini walau hanya sebuah negara pulau yang luas wilayahnya pada tahun 1976 tak lebih dari 600 Kilometer persegi saja, namun berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu pusat keuangan dan perdagangan dunia.
Namun belakangan hari ini, Malaysia walau belum bisa dikatakan sejajar tapi sudah berhasil memperkecil jarak ketertinggalannya dari Singapura.
Malaysia secara cerdik telah berhasil muncul sebagai salah satu pusat keuangan syariah dunia.
Suatu positioning yang oleh banyak kalangan mungkin masih dianggap remeh dan dicibirkan serta diragukan kemaslahatan manfaatnya.
Sekalipun begitu, ternyata skema aliran dan pengelolaan dari sebagian besar dana negara-negara teluk yang ingin berinvestasi di Indonesia itu dipegang oleh para fund manager yang berkedudukan di Kuala Lumpur.
Selanjutnya, Malaysia di sisi selatan perbatasannya berdampingan dengan pulau Sumatera yang hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan wilayah untaian zamrud khatulistiwa, Indonesia.
Malaysia yang 60,4% dari populasi penduduknya adalah Muslim, dilihat dari sumber daya alam dan jumlah penduduk serta luas wilayahnya jelas bukanlah tandingan Indonesia yang penduduknya sekitar 88,2% beragama Islam.
Namun belakangan hari ini, Malaysia yang dipersepsikan diskriminatif lantaran paradigma pembangunan ekonomi nasionalnya menganut sistem priviledge etnis Melayu melalui NEP ini, dalam banyak hal telah mengungguli Indonesia, sang macan Asia yang saat ini mungkin sudah tumpul kukunya dan sudah ompong taringnya.
Walau begitu, sekarang ini mungkin masih banyak rakyat Indonesia yang masih beranggapan bahwa Malaysia lebih tidak maju dan lebih tidak sejahtera dibandingkan Indonesia.
Mungkin masih ada yang menganggap bahwa Kuala Lumpur itu jauh lebih kumuh dan jauh lebih kampungan dibandingkan Metropolitan Jakarta Raya.
Dimana saat ini Kuala Lumpur sudah mempunyai sistem angkutan umum massal yang terintegrasi dengan baik dengan sistem jalan bebas hambatannya.
Sedangkan sistem angkutan umum massal Jakarta masih belum kelihatan wujudnya, yang kalaupun berbentuk baru berupa tiang-tiang kolom beton saja.
Sistem angkutan Busway atau Trans Jakarta juga tersendat-sendat perkembangannya, dimana di beberapa halte dan fasilitas jembatan penyeberangan bagi para penggunanya mulai berlobang-lobang lantaran sebagian plat bordesnya hilang raib tak tentu rimbanya.
Mungkin juga masih ada yang menganggap kualitas serta teknologi persenjataannya Tentara Diraja Malaysia itu jauh lebih kuno dibandingkan dengan Tentara Nasional Indonesia.
Dimana salah satu unsur matra TNI, yaitu TNI AL, sampai saat ini masih belum berhasil meremajakan kapal selamnya, padahal harga dua kapal selam kelas kilo itu hanya seharga sekitar Rp. 6,7 Trilyun saja.
Malahan mungkin juga masih ada yang menganggap bahwa dalam hal tingkat penguasaan teknologi dan kemajuan industrialisasi di Malaysia itu jauh lebih tertinggal dibandingkan Indonesia.
Dimana industri otomotif Malaysia walau dengan tertatih-tatih setahap demi setahap akhirnya sampai saat ini berhasil mempunyai industri mobil nasional bermerek Proton, yang peredaran pemasarannya pun sudah merambah sampai Indonesia.
Sedangkan industri otomotif Indonesia yang telah diproteksi selama hampir empat puluh tahun lamanya, tetap saja hanya berkutat diseputar soal peningkatan kandungan lokal saja.
Industri padat teknologi di bidang dirgantara yang pernah berjaya dengan memproduksi CN-235 dan menciptakan N-250 pun akhirnya menjadi mati segan hidup pun tak bisa, lantaran sistem paradigma di pengaturan kebijakan keuangan negara menjadi berubah total.
Bahkan mungkin juga masih ada yang menganggap bahwa pilihan kebijakan memprivatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) itu merupakan pilihan sistem yang jauh lebih tepat dan bijaksana dibandingkan Malaysia.
Dimana pada saat ini Petronas sebagai salah satu BUMN Malaysia berhasil mempunyai SPBU di Indonesia, sedangkan Pertamina sebagai salah satu BUMN Indonesia belum berhasil mempunyai SPBU di Malaysia.
Malahan mungkin juga masih ada yang menganggap sistem pengelolaan sumber daya alam Indonesia dan paradigma pembangunan ekonomi nasionalnya masih jauh lebih hebat dibandingkan Malaysia, lantaran di Indonesia mempunyai profesor dan juga doktor ahli ekonom yang nir kepentingan dan nir ambisi politik dengan kehebatan ilmunya berkelas dunia.
Dimana hal itu telah membuahkan tingkat kehidupan rakyat Malaysia terhitung lebih sejahtera dibandingkan rakyat Indonesia.
Walau mungkin Malaysia tidak mempunyai milyuner sebanyak Indonesia, yang saat ini sudah ada tujuh milyuner Indonesia yang berhasil masuk ke kelompok elit 1.000 milyuner tingkat dunia.
Akhirulkalam, terlepas dari perdebatan beda pendapat perihal tingkat kemajuan dan kesejahteraan rakyat Malaysia dibandingkan dengan rakyat Indonesia, ada salah satu parameter yang jelas kasat mata dalam memperbandingkannya.
Tugu Monas sebagai land mark-nya Jakarta sudah kalah mentereng dibandingkan dengan Menara Petronas sebagai land mark-nya Kuala Lumpur.
Apakah karena itu pula maka pemerintah Indonesia menjadi berkehendak untuk mengkonsorsiumkan BUMN Indonesia untuk membangun tandingannya Menara Petronas ?.
Wallahualambishshawab.
*
Catatan Kaki :
Artikel yang berjudul‘ Tujuh WNI Terkaya di Dunia ‘dapat dibaca dengan mengklik di sini ,dan yang berjudul‘ Cukup 1 Riyal Saja ‘dapat dibaca dengan mengklik di sini ,serta yang berjudul‘ SBY Presiden Legendaris ‘dapat dibaca dengan mengklik di sini .
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H