Mohon tunggu...
Rifky Pradana
Rifky Pradana Mohon Tunggu... -

Seseorang pria yang bukan termasuk golongannya rakyat 'Jelita', hanya seorang rakyat 'Jelata' saja, yang suka iseng, yang suka mengisi waktu nganggurnya untuk menghibur dirinya dengan membaca dan menuliskan uneg-unegnya yang dipostingkan di blog komunitas : Kompasiana, Politikana, serta di milis-milis yahoogroups.com : Forum Pembaca Kompas, Mediacare, Media Umat, Ekonomi Nasional, PPI-India, Indonesia Rising, Nongkrong Bareng Bareng, Wartawan Indonesia, Zamanku, Eramuslim, Sabili, Mencintai Islam, Syiar Islam, dengan nickname rifkyprdn@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Cukup 1 Riyal Saja

10 Maret 2010   02:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:31 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah memastikan tidak akan ada kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan TDL (Tarif Dasar Listrik) pada tahun 2010 meskipun harga minyak dunia saat ini masih berfluktuasi.

Demikian pernyataan yang dikemukakan oleh Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, pada hari Rabu tanggal 13 Januari 2010,

Pernyataan tersebut dikutip dari sebuah berita berjudul ‘Pemerintah Pastikan Harga BBM dan TDL Tidak Akan Naik’, yang dapat diakses langsung ke sumber beritanya dengan mengklik disini.

Selain itu, dari sumber berita yang lain disebutkan juga bahwa masyarakat tak perlu khawatir TDL akan naik begitu memasuki 2010. Pemerintah telah berjanji tidak akan menaikkan tarif listrik.

Berkaitan dengan janji pemerintah yang tidak akan menaikkan tarif listrik itu, Menko Perekonomian mengatakan bahwa dibandingkan dengan menaikkan TDL, pemerintah akan lebih fokus kepada upaya membenahi sektor kelistrikan secara menyeluruh dimulai dari PLN. “Kita akan coba selesaikan permasalahan di PLN”, kata Hatta Rajasa.

Menko Perekonomian mengakui bahwa tidak adanya kenaikan TDL tersebut akan membuat beban subsidi makin berat. Meskipun demikian, potensi tambahan beban subsidi itu masih akan bisa di-cover oleh APBN. “Tambahan beban subsidi itu masih dalam range yang bisa diatasi APBN kita”, kata Hatta Rajasa.

Pernyataan itu tentu melegakan hati rakyat Indonesia. Paling tidak, dengan tidak adanya kenaikan TDL maka biaya perongkosan kehidupannya tidak akan menjadi naik.

Namun sekalipun lega, sebagian gelintir dari rakyat Indonesia juga meyakini dan menyadari serta memaklumi bahwa lain Menko Perekonomian lain pula Menteri Keuangan, dalam arti kata apa yang menjadi kebijakannya Menko Perekonomian itu belumlah tentu akan sepenuhnya diamini oleh Menteri Keuangan.

Belum berselang satu tahun dari pernyataannya Menko Perekonomian itu, apa yang diyakini oleh segelintir rakyat Indonesia itu menemukan kenyataannya.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memberikan pernyataan yang intinya memastikan bahwa tarif dasar listrik akan naik pada Juli 2010 sebesar 15 persen.

TDL naik sebesar 15 persen per Juli 2010“, kata Sri Mulyani. Pernyataan Menteri Keuangan itu disampaikannya pada jumpa pers soal RAPBN-P 2010, pada hari Senin tanggal 8 Maret 2010, di Gedung Depkeu.

Jadilah rakyat Indonesia harus mulai bersiap-siap untuk menyediakan lebih banyak lagi uang untuk membiayai perongkosan kehidupannya yang tentunya akan otomatis menjadi naik lantaran kenaikan TDL itu. Pengeluaran biaya rumah tangga yang pasti bertambah adalah biaya bulanan bayar listrik.

Tentu dalam persoalan beban pengeluaran perongkosan hidup ini, para cerdik pandai akan menasihati dan memberikan solusi atas pemasalahan itu agar rakyat Indonesia mulai belajar menghemat pemakaian listrik jika tak mau biaya bulanan bayar listrik menjadi bertambah.

Selanjutnya, disamping biaya bayar tagihan listrik, tentu pengeluaran biaya rumah tangga juga akan bertambah dengan adanya kenaikan harga barang-barang kebutuhan hidup yang lainnya.

Kenaikan harga barang-barang itu tentu sesuatu yang logis dan wajar, mengingat kenaikan TDL itu akan membuat biaya produksi barang otomatis menjadi naik pula.

Dalam persoalan ini pula, para cerdik pandai juga sudah mempunyai nasihat dan solusinya. Rakyat Indonesia disamping berhemat, juga harus mulai belajar kreatif serta berkerja lebih keras dan lebih giat lagi agar mendapatkan peningkatan pendapatan sehingga peningkatan pengeluaran rumah tangga itu dapat teratasi.

Terlepas dari segala nasihat dan solusi yang diberikan oleh para cerdik pandai itu. Memanglah yang menjadi persoalan terbesar disebagian besar rumah tangga di Indonesia itu adalah ketimpangan antara pendapatan dan pengeluaran.

Tentunya para cerdik pandai juga sudah mempunyai jawabannya atas akar permasalahan dari ketimpangan antara pendapatan dan pengeluaran ini.

Akar permasalahannya tentu tidak jauh-jauh dari soal kemalasan, ketidak kreatifan, dan segala hal yang berkait dengan kekurangan dan kelemahan serta keburukan dari sebagian besar rakyat Indonesia.

Sebagian besar rakyat Indonesia tentu mengakui bahwa apa yang dikatakan oleh para cerdik pandai itu pastilah mutlak benar adanya. Apalagi para cerdik pandai itu bergelar Doktor bahkan Profesor di bidang ilmu Ekonomi.

Sehingga dengan menyadari sepenuh-penuhnya tentang segala kekurangan dan keburukan yang ada di dirinya itu, maka rakyat Indonesia nrimo saja. Meskipun, setiap tahun berganti tahun, pendapatannya belum tentu naik tapi perongkosan kehidupannya pasti naik.

Perongkosan kehidupan yang pasti terus mengalami kenaikan pada setiap tahunnya itu, mengutip penuturan dari para cerdik pandai, disebut sebagai inflasi.

Inflasi itu ada yang karena tarikan permintaan (Demand Pull Inflation) dan ada yang karena desakan biaya (Cost Push Inflation).

Inflasi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, pasti mutlak akan terus ada. Karena inflasi yang terkendali itu katanya justru merupakan hal yang baik dan dibutuhkan bagi memacu perkembangan ekonomi suatu negara.

Konon katanya, tak ada satu pun negara yang ada di dunia ini yang tidak mengalami inflasi.

Berkait dengan segala kemaslahatan inflasi itu, tentunya rakyat Indonesia mengamini saja penjelasan dari para cerdik pandai itu.

Walaupun ada juga yang manggut-manggut mengamininya tapi sambil bersungut-sungut karena harga-harga barang di tahun ini menjadi lebih mahal dibandingkan tahun kemarin, dan akan menjadi bertambah mahal lagi di tahun depan, dan berlanjut terus bertambah mahal di tahun-tahun depannya lagi.

Sedangkan pada kenyataan kehidupannya menunjukkan fakta bahwa tingkat kenaikan penghasilan dan pendapatannya itu terus menerus setiap tahunnya berada dibawah tingkat inflasi riil yang terus terjadi setiap tahunnya itu.

Dan, akibatnya yang tahun kemarin barang itu masih mudah terbeli, namun ditahun ini mungkin menjadi untuk membeli barang yang sama itu haruslah dengan merelokasi dulu dari alokasi pos kebutuhan lainnya.

Begitu juga halnya dengan hal-hal lainnya yang merupakan komponen dari perongkosan kehidupan, serta hal yang berkait erat dengan kebutuhan kehidupan. Tentunya termasuk pula diantaranya adalah biaya pendidikan dan sekolah, serta biaya kesehatan dan pengobatan.

Namun sekalipun ikut mengamininya pula, ada di segelintir kalangan yang merasa heran dan merasa ganjil dengan fenomena inflasi itu yang dikatakan sebagai sesuatu hal memberikan maslahat dan pasti terjadi di semua negara.

Segelintir kalangan itu menengarai bahwa di negara Saudi Arabia, di negara ini tentunya tak mempunyai pakar ahli perekonomian negara yang pilih tanding dengan tingkat kehebatan kelas dunia seperti misalnya yang sekaliber Profesor Boediono dan Doktor Sri Mulyani, ternyata di negara teluk itu ada barang-barang kebutuhan masyarakat kebanyakan yang dari zaman baheula sampai hari ini harganya tetap saja hanya 1 Riyal saja.

Mungkin bagi mereka yang pernah mengunjungi negara itu, barangkali saat mereka menunaikan Ibadah Haji yang merupakan salah satu dari Rukun Islam, atau barangkali saat mereka menjalankan ibadah Umroh untuk menambah bekal amalan di akhirat kelak, atau barangkali mereka berkunjung ke sana dalam sesuatu keperluan yang lainnya, akan menemukan fenomena bahwa minuman ‘Teh Susu’ yang banyak dijual di lapak-lapak atau di kios-kios pinggiran jalan itu per gelasnya harganya 1 Riyal saja.

Menurut mereka yang pernah beberapa kali pergi ke tanah suci dalam jeda waktu beberapa tahun, harga 1 Riyal itu tidaklah berubah dari tahun ke tahun.

Kenapa ya bisa begitu?.Apa karena di negara Saudi Arabia itu tidak ada inflasi?.Atau karena minuman Teh Susu itu memang kebal inflasi?.

Upsss, jangan keburu apriori dulu, janganlah antipati dulu, jangan juga keburu bersikap dulu sehingga jelas terbaca isi hati yang dipenuhi oleh Islamophobia.

Sesungguhnya pertanyaan itu diajukan bukan karena menginginkan di Indonesia juga diterapkan Syariat Islam. Tidak ada hubungannya dengan keinginan menerapkan Syariat Islam, tidak ada hubungannya dengan keinginan untuk menghancurkan Pluralisme dan Sekulerisme di Indonesia, tidak ada hubungannya dengan keinginan mengganggu Kebhinekaan Indonesia.

Konon kabarnya, di negara Saudia Arabia ini tidak punya ekonom nir kepentingan dan nir ambisi politik yang dengan tingkat kehebatan ilmu yang sekaliber Profesor Boediono dan Doktor Sri Mulyani .

Konon, katanya di Saudi Arabia ini juga ada inflasi. Namun inflasinya begitu kecil dan sangat terkontrol. Sehingga mata uang Riyal menjadi sangat stabil dan sangat tidak fluktuatif.

Akibat lanjutannya dari itu, teh susu dari tahun ke tahun tetap saja tak bergeming harganya, cukup hanya 1 Riyal saja.

Termasuk juga sekaleng Pepsi Cola atau minuman kaleng lainnya, yang harganya tak beranjak dari 1 Riyal saja.

Mengapa bisa begitu ya?.Apa karena negara itu kaya raya dengan tambang minyaknya?.Atau karena disubsidi oleh pemerintahnya?.

Konon katanya, itu semua dikarenakan negara itu masih menganut cara pengaturan dan manajemen ekonomi moneter yang menurut para ahli ekonomi merupakan model moneter yang sudah ketinggalan zaman dan terbilang kuno jika dibandingkan dengan Indonesia sebagai misalnya.

Konon, mata uang Riyal itu masih diback up dengan cadangan emas yang terus disesuaikan jumlah cadangan sesuai dengan jumlah mata uang kertas yang dicetaknya.

Sebagaimana diketahui, inti kesepakatan ‘Breton Wood’ di tahun 1944 yang digagas oleh Amerika Serikat itu adalah janji Amerika Serikat untuk mendukung mata uang USD secara penuh dengan emas yang nilainya setara.

Kesetaraan ini mengikuti konversi harga emas yang ditentukan tahun 1934 oleh Presiden Roosevelt, yaitu USD 35 untuk 1 troy ons emas.

Lalu, negara-negara lain yang mengikuti kesepakatan tersebut diijinkan untuk menyetarakan uangnya terhadap emas ataupun terhadap Dollar.

Dengan adanya kesepakatan ini, maka seharusnya di setiap nilai uang 35 USD itu ada cadangan emas sebesar 1 troy ons yang disimpan oleh Bank Sentralnya Amerika Serikat.

Namun kemudian, di tahun 1971, atau tepatnya tanggal 15 Agustus 1971, Amerika Serikat secara sepihak telah memutuskan untuk tidak lagi mengaitkan mata uang USD dengan cadangan emas.

Menyusul kemudian, pada tanggal 18 Desember 1971, diteken oleh Amerika Serikat bersama negara negara industri yang disebut G 10 sebuah kesepakatan yang disebut ‘Smithsonian Agreement’.

Dimana dengan adanya kesepakatan ini berakhirlah sistem Fixed Exchange Rate dengan back up emas, berubah menjadi sistem Floating Exchange Rate tanpa back up emas.

Apakah mungkin jika mata uang Rupiah kembali diback up dengan cadangan emas?.

Tentu para cerdik pandai yang bergelar Profesor dan Doktor saja yang berkompeten untuk menjawabnya.

Karena bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang berkarakter nrimo itu hal terpenting dan terutamanya adalah bagaimana agar penghasilan atau pendapatannya bisa sebanding dengan tingkat kebutuhan perongkosan hidupnya.

Sehingga kebutuhan kehidupannya terpenuhi dengan cukup pangan, cukup sandang, cukup papan, cukup pendidikan, cukup kesehatan.

Syukur-syukur jika masih bisa menabung, sehingga sebelum usianya renta dan sebelum uzur menghalanginya sudah mempunyai cukup uang untuk menyempatkan diri menggenapkan Rukun Islam dengan menunaikan Ibadah Haji.

Akhirulkalam, mengasyikkan juga membayangkan andai es cendol harganya tetap dari tahun ke tahun cukup Rp. 1 saja per gelasnya. Sehingga tidak selalu dipusingkan oleh tekornya anggaran rumahtangga lantaran gaji tahun ini tetap alias tidak naik dibandingkan tahun lalu sedangkan harga-harga kebutuhan hidup selalu naik melebihi kenaikan gaji.

Mungkinkah bisa terjadi?.

Wallahualambishshawab.

*

Artikel-artikel lainnya :

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun