Mencontek secara sederhananya dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang bertujuan untuk mencapai suatu keberhasilan dengan jalan yang tidak sesuai dengan kaidah dan nilai moral yang berlaku umum di masyarakat.
Kegiatan contek mencontek ini biasanya sering ditemui di dunianya anak-anak. Walau tak tertutup kemungkinan juga ditemui di dunianya orang dewasa.
Banyak alasan dan dalih yang menjadi dasar pertimbangan dari seseorang yang melakukan perbuatan mencontek. Namun tujuan dari perbuatan mencontek itu hampir seragam, yaitu tujuan tunggal, bertujuan untuk mencapai keberhasilan.
Mendapatkan nilai yang bagus atau nilai yang memenuhi passing grade untuk suatu kelulusan, adalah tujuan perbuatan mencontek dalam konteks perbuatan mencontek yang dilakukan sewaktu ujian sekolah.
Mendapatkan nilai yang mampu menmgungguli para pesaingnya, adalah tujuan perbuatan mencontek dalam konteks perbuatan mencontek yang dilakukan sewaktu test saringan untuk memasuki suatu institusi pendidikan.
Mencontek oleh hampir semua kaidah dan nilai moral yang berlaku umum di masyarakat, dikategorikan sebagai perbuatan curang. Namun anehnya, bukanlah rahasia umum jika mencontek sudah dianggap wajar dan sering dilakukan oleh banyak orang.
Memang, godaan untuk mencontek ini terkadang memang sulit untuk dilawan. Apalagi disaat seseorang merasa dalam posisi kepepet, sedangkan ada suatu keberhasilan yang harus diraihnya ditengah persaingan kompetisi yang sedemikian ketat. Mencontek lalu menjadi pilihan cara yang paling masuk akal.
Terkadang, perbuatan mencontek ini juga dilakukan secara berjamaah oleh suatu kelompok. Mereka saling melindungi antara satu dengan yang lainnya. Istilah kerennya, berkoalisi untuk bersama-sama melakukan perbuatan saling mencontek.
Celakanya, jika mencontek ini tak terbatas hanya dilakukan secara berkoalisi dan berjamaah. Namun juga jika sudah dianggap sebagai hal yang sudah membudaya di masyarakat suatu negara.
Keadaan dan situasi yang seperti itu bisa berakibat sangat fatal, bahkan dapat berdampak yang sistemik.
Hasil akhirnya bisa merusak moral dan mental serta kejiwaan dari generasi muda sebagai penerus tongkat estafet kepemimpinan bangsa.
Bagaimana tidak mengkhawatirkan, mengingat dalam dunia psikologi perkembangan anak, dikenal istilah proses imitasi.
Imitasi dalam konteks ini, konon katanya berasal dari bahasa latin, imitari, yang artinya meniru atau mencontoh.
Proses imitasi secara sederhanya dapat diartikan sebagai proses peniruan yang dilakukan anak terhadap suatu aksi yang berasal dari lingkungan sekitarnya.
Jika proses imitasi itu disertai juga dengan proses memahami tujuan aksi dan pencapaian dengan target tujuan tertentu, maka akan membentuk teori pemikiran (Theory of Mind) yang melekat pada memori di benak anak yang melakukan proses imitasi tersebut.
Proses imitasi ini juga erat kaitannya dengan proses identifikasi. Dimana dalam proses ini, anak atau orang secara tidak disadarinya akan berusaha menyamakan dirinya dengan lingkungan komunitasnya.
Sehingga, boleh dikatakan bahwa fase dimana terjadi proses imitasi dan proses identifikasi itu merupakan fase yang paling penting dalam proses pembentukan intelektual dan kognisi serta karakter kepribadian dari seorang anak.
Proses imitasi dan identifikasi, jika dilihat dari sisi sudut pandang yang positif, dapat mendorong anak untuk mematuhi kaidah dan nilai moral yang berlaku.
Namun sebaliknya, jika dilihat dari sisi sudut pandang yang dari sisi negatif dapat juga berarti mendorong anak untuk meniru tindakan dan nilai moral yang menyimpang.
Semua itu tergantung bagaimana situasi dan kondisi di komunitas lingkungan dimana si anak itu berada.
Jika situasi dan kondisi di komunitas lingkungannya memberikan suri tauladan yang seringkali melanggar kaidah dan nilai moral yang berlaku umum di masyarakat, maka anak itupun akan tumbuh sesuai dengan suri tauladan yang dilihatnya itu.
Jika budaya curang dan ketidakjujuran merajalela di tengah masyarakat, dimana paham ketidakjujuran telah mendarah daging dan menyatu dalam setiap aliran darah serta tarikan napas kehidupan para anggauta masyarakat disekelilingnya, maka hasil akhirnya adalah generasi penerus yang dikuasi oleh budaya budaya curang dan ketidakjujuran.
Efek lanjutan dari budaya curang dan ketidakjujuran adalah budaya korupsi dan manipulasi serta penyalah gunaan wewenang jabatan.
Suatu negeri sudah dipenuhi oleh suri tauladan yang demikian, mulai dari elit pimpinan tertingginya sampai ke kalangan rakyat jelata, maka hasilnya adalah perbuatan korupsi dan manipulasi serta penyalahgunaan wewenang jabatan akan dilakukan oleh semua anggauta masyarakat.
Mereka yang tak melakukannya hanyalah mereka yang tak beruntung saja. Mereka yang tak mempunyai kesempatan untuk melakukan perbuatan korupsi dan manipulasi.
Akhirulkalam, suri tauladan adalah hal yang paling penting dalam membentuk perilaku masyarakat suatu negeri. Terutama tentunya, suri tauladan dari elit pimpinan negerinya.
Lalu, bagaimanakah suri tauladan yang telah diberikan oleh para elite di jajaran pimpinan negeri Indonesia ini ?.
Wallahulambishshawab.
*
Catatan Kaki :
Artikel lainnya yang berjudul ‘Biarkan Maling Beraksi’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , dan yang berjudul ‘Tukar Guling dalam Skandal Century’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , dan yang berjudul ‘Bangkai Kerbau dalam Skandal Century’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , serta yang berjudul ‘The Century Band’ dapat dibaca dengan mengklik di sini ,dan yang berjudul ‘George Soros dan Boediono serta Musdah Mulia’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , dan yang berjudul ‘Soros menggertak SBY’ dapat dibaca dengan mengklik di sini .
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H