Departemen Agama saat ini tengah mempersiapkan draf RUU (Rancangan Undang-undang) Hukum Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan yang antara lain akan mengatur perihal nikah siri dan poligami serta kawin kontrak.
Didalam RUU tersebut diatur tentang denda maksimal Rp. 6 juta atau pidana pejara maksimal enam bulan bagi pelaku nikah siri.
Sedangkan bagi pelaku kawin kontrak akan diancam hukuman pidana penjara maksimal tiga tahun. dan perkawinannya dinyatakan batal demi hukum.
Bahkan juga diatur bagi pelaku poligami yang harus mendapatkan izin dari istri pertama, dan izin tersebut harus disahkan di pengadilan. Jika tidak ada izin ini maka pelakunya akan didenda maksimal Rp. 6 juta atau pidana penjara maksimal enam bulan.
Tak pelak lagi, RUU ini menimbulkan polemik yang cukup seru. Silang pendapat cukup ramai, ada yang pro, namun ada pula yang kontra.
Semoga saja silang pendapat itu tidak hanya karena anut grubyug yang sekedar karena ikut-ikutan saja. Namun silang pendapat yang dilandasi oleh pemahaman terhadap hal ihwal hukumnya dan juga duduk perkara permasalahannya.
Tulisan kali ini adalah cetusan dari seorang rakyat jelata yang awam pengetahuan dan pemahamannya, namun ingin mengungkapkan uneg-unegnya dan ingin mencoba sedikit urun rembug.
Akan tetapi, mengingat permasalahan ini cukup kompleks dan cukup berat pembahasannya serta akan cukup panjang pembahasannya.
Maka pada pembahasan di artikel ini, hanya akan dikhususkan untuk yang pembahasan masalah nikah siri. Sedangkan untuk permasalahan kawin kontrak dan poligami, Insya Allah, jika Allah SWT masih memberikan kesempatan dan cukup umur akan dibahas menyusul pada artikel tersendiri.
Nikah atau pernikahan atau perkawinan itu dalam ajaran agama Islam adalah termasuk amalan ibadah yang sudah diatur syarat dan rukunnya.
Rukun dan syarat pernikahan secara syari’ itu bagaikan dua sisi mata uang yang sama, keduanya saling melengkapi, dan keduanya harus diadakan dan terpenuhi, serta tak boleh ada satupun yang tertinggal, untuk menjadikan pernikahan itu menjadi sah menurut hukum syariat agama.
Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan ibadah dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara itu, syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.
Rukun nikah meliputi adanya mempelai laki-laki dan wanita yang tidak terhalang oleh syarat syari’ untuk saling mengikatkan diri dalam pernikahan tersebut, adanya wali nikah, adanya dua orang saksi, adanya ijab serta qabul.
Penghalang syarat syari’ adalah antara mempelai laki-laki dan wanita itu mempunyai pertalian nasab atau hubungan persusuan atau pertalian persemendaan yang secara syari’ haram untuk saling menikahi.
Dan, jika mempelai laki-lakinya sudah mempunyai isteri, maka mempelai wanitaanya tidak mempunyai pertalian nasab atau hubungan persusuan dengan isteri dari mempelai laki-lakinya.
Serta, jika antara mempelai laki-laki dan wanita itu merupakan bekas suami isteri, maka hubungan diantara mereka berdua itu tidak dalam keadaan talak tiga dan li’an.
Mempelai wanita adalah wanita yang sedang tidak terikat perkawinan dengan pihak lain, tidak dalam masa idah, belum pernah li’an, tidak dalam keadaan ihram, mendapatkan izin dari wali nikahnya, tidak dalam paksaan.
Mempelai laki-laki adalah laki-laki Muslim, tidak sedang terikat perkawinan dengan empat wanita atau lebih, tidak dalam keadaan ihram, tidak dalam paksaan.
Wali nikah adalah wali nasab dari mempelai wanitanya. Atau dalam keadaan tertentu, dapat diwakilkan kepada wali hakim. Wali nikah ini harus berdasar urutan tertib wali, dalam arti kata sesuai dengan urutan wali nikah.
Saksi pernikahan adalah dua orang laki-laki dewasa yang beragama Islam.
Ijab adalah lafaz yang diucapkan oleh wali mempelai wanita, yang inti hakikatnya adalah penyerahan dari wali nikah kepada mempelai laki-laki. Lafaz dari wali itu berupa ucapan zawwajtuka fulanah yaitu aku nikahkan engkau dengan si fulanah, atau ankahtuka fulanah yaitu aku nikahkan engkau dengan fulanah.
Qabul adalah lafaz yang diucapkan oleh mempelai laki-laki, yang inti hakikatnya adalah penerimaan oleh mempelai laki-laki atas penyerahan dari wali nikah. Lafaz dari wali itu berupa ucapan qabiltu hadzan nikah atau qabiltu hadzat tazwij yaitu aku terima pernikahan ini.
Adapun syarat nikah meliputi adanya mempelai laki-laki yang beragama Islam, adanya mempelai wanita, adanya keridhaan dari mempelai laki-laki dan wanita, adanya wali nikah yang beragama Islam, adanya dua orang saksi pernikahan yang beragama Islam.
Apabila syarat dan rukun dari pernikahan itu sudah terpenuhi, dan ijab serta qabul sudah dilaksanakan, maka pernikahan itu sudah dinyatakan sah secara syari’.
Ajaran agama Islam hanya mengenal pernikahan yang sah secara syari’, berarti halal pernikahannya itu. Atau, pernikahan yang tidak sah secara syari’, berarti haram pernikahannya itu.
Maka, sesungguhnya di ajaran Islam tidak dikenal dikotomi istilah antara kawin siri dengan kawin yang tidak siri.
Lalu, kenapa di masyarakat Indonesia dikenal sitilah kawin siri dan kawin yang tidak siri ?.
Istilah kawin siri yang dimaksudkan disini adalah pernikahan yang sudah dinyatakan sah secara syari’, namun tidak dicatatkan ke administrasi negara, dalam hal ini instansi Kantor Catatan Sipil atau instansi Kantor Urusan Agama.
Sedangkan kawin yang tidak siri yang dimaksudkan disini adalah pernikahan yang dicatatkan ke administrasi negara, dalam hal ini instansi Kantor Catatan Sipil atau instansi Kantor Urusan Agama.
Maka, perbedaan antara kawin siri dan kawin yang tidak siri adalah disoal pencatatan ke administrasi negara, dalam hal ini instansi Kantor Catatan Sipil atau instansi Kantor Urusan Agama. Bukan perbedaan di soal sah secara syari’ atau tidak sah secara syari’.
Lalu, bagaimana kaitan antara perkawinan yang sah secara syari’ dengan rencana peberlakuan UU yang akan mempidanakan pelaku kawin siri itu ?.
Sebenarnya tidaklah masalah, sepanjang itu hanya karena berkenaan dengan masalah urusan tertib administrasi negara saja.
Asalkan tidak ada maksud lain yang terselubung, seperti maksud yang akan bertujuan untuk menambah-nambahkan atau mengurangi di urusan syarat dan rukun nikah secara syari’.
Jika ada maksud lain, yang ingin menambah-nambahkan atau mengurangi di urusan syarat dan rukun nikah secara syari’, maka seyogyanya Departemen Agama perlu berfikir ulang seribu kali lagi.
Sebab, apapun alasannya, hal yang menambah-nambahkan atau mengurangi di urusan syarat dan rukun nikah secara syari’ itu tidak diperbolehkan oleh syariat agama Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits.
Hal selainnya itu, yang juga perlu diingat adalah soal kumpul kebo.
Kumpul kebo yang dimaksudkan disini adalah kehidupan berumahtangga antara laki-laki dan perempuan sebagaimana layaknya kehidupan suami istri, namun tidak diikat oleh suatu bentuk pernikahan apapun juga.
Nikah ala kumpul kebo ini tentunya juga tidak dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama.
Lalu, apakah nikah kumpul kebo juga termasuk yang akan didenda maksimal Rp. 6 juta atau pidana pejara maksimal enam bulan ?.
Jika tidak, maka hal itu akan menjadi sesuatu hal yang sangat ironis jika nikah ala kumpul kebo tidak dihukum pidana sedangkan nikah ala syari’ malahan dihukum pidana.
Disamping ironis, ini juga menyangkut ada aspek soal ketidakadilan, dimana hal yang haram tidak dipidanakan sedangkan hal yang halal malahan dipidanakan.
Lalu, bagaimana dengan urusan tertib administrasi negara ?.
Seyogyanya Departemen Agama menyusun rancangan dalam soal ini mempertimpangkan aspek lain secara lintas sektoral dan lebih komprehensif lagi. Sehingga aspek ketidak adilan tersebut dapat terakomodasi dan tertib administrasi negara juga dapat dilaksanakan dengan baik.
Hal itu dapat dilakukan dengan merubah ketentuan di RUU tersebut, dimana ketentuan itu berlaku kepada semua bentuk pernikahan yang tidak dicatatkan ke administrasi negara, baik pencatatan di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
Dimana pencatatan di Kantor Urusan Agama tetap berlaku seperti yang telah berlaku selama ini, yaitu pencatatan untuk bentuk pernikahan yang memenuhi syarat dan rukun syari’.
Sedangkan untuk bentuk yang tidak memenuhi syarat dan rukun syari’, pencatatannya diserahkan kepada Kantor Catatan Sipil.
Sehingga semua bentuk pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama akan diancam denda maksimal Rp. 6 juta atau pidana pejara maksimal enam bulan.
Akhirulkalam, hakikat dari tujuan pernikahan adalah melakukan ibadah untuk membentuk keluarga sakinah mawadah warohmah, serta untuk mendapatkan anak keturunan yang soleh dan solekah yang akan mengirimkan doa ampunan bagi orangtuanya saat mereka sudah berada di alam barzah nantinya.
Maka sungguh teramat penting untuk berpegang teguh kepada tali pernikahan yang sesuai dengan syariat sehingga sah secara syari’. Dan, alangkah indahnya jika juga memenuhi persyaratan tertib administrasi negara.
Wallahualambishshawab.
*
Catatan Kaki :
Artikel lain yang berjudul ‘Adakah Agama yang Bolehkan Zina ?’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , dan yang berjudul ‘Al-Qur’an Bicara, Believe It or Not’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , serta yang berjudul ‘Lia Eden = Nabi Muhammad SAW’ dapat dibaca dengan mengklik di sini .
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H