Mohon tunggu...
Rifky Pradana
Rifky Pradana Mohon Tunggu... -

Seseorang pria yang bukan termasuk golongannya rakyat 'Jelita', hanya seorang rakyat 'Jelata' saja, yang suka iseng, yang suka mengisi waktu nganggurnya untuk menghibur dirinya dengan membaca dan menuliskan uneg-unegnya yang dipostingkan di blog komunitas : Kompasiana, Politikana, serta di milis-milis yahoogroups.com : Forum Pembaca Kompas, Mediacare, Media Umat, Ekonomi Nasional, PPI-India, Indonesia Rising, Nongkrong Bareng Bareng, Wartawan Indonesia, Zamanku, Eramuslim, Sabili, Mencintai Islam, Syiar Islam, dengan nickname rifkyprdn@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saatnya Cicak Menagih Kiprah KPK ?

23 November 2009   19:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:13 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andai nantinya kesampaian, pihak Jaksa Agung mengeluarkan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Perkara) bagi Chandra M Hamzah, dan pihak Kepolisian mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) bagi Bibit Samad Rianto, untuk memenuhi keinginan Presiden SBY agar kasus Bibit dan Chandra dihentikan. Maka boleh dibilang, ada andil dan jasa yang cukup besar dalam mendorong keinginan Presiden SBY itu, adalah hasil kerjanya Tim Delapan dan Keputusan Mahkamah Konstitusi serta Media penyedia Informasi bagi publik.

Tim Delapan yang dengan isi laporan –entah itu sesuatu yang terduga ataupun tidak terduga sebelumnya pada waktu Tim ini dibentuk- ternyata berani memberikan rekomendasi yang menyelisihi pendapat yang diyakini oleh mayoritas di kalangan yang berwenang dan saat ini berkuasa.

Ditambah dengan sejarah pembentukannya yang berdasarkan Keppres, maupun track record dan kapasitas keilmuwannya serta kredibilitas dari para tokoh yang tergabung sebagai anggotanya yang cukup baik di mata sebagian besar kalangan di masyarakat.

Dimana, itu semua telah berperan besar sebagai penguat dan justifikasi bagi pendapat-pendapat yang sebelumnya sudah ada di kalangan sebagian besar masyarakat. Atau, jika tak boleh mengklaim sebagai kalangan sebagian besar masyarakat, paling tidak suara pendapat itu berdengung dan bergema keras di kalangan masyarakat pendukung Cicak.

Suara masyarakat dari kalangan komunitas Cicak, dengan adanya Tim Delapan ini, menjadi tidak terpinggirkan dan tidak tergilas oleh hegemoni suaranya para wakilnya yang dipilihnya melalui pemilu yang lalu, yang sekarang telah bertahta di dampar kencana kekuasaannya, salah satu diantaranya adalah mereka yang bersinggasana di Komisi III DPRRI.

Tim Delapan ini juga telah berperan besar sebagai penyeimbang dari kalangan politisi parpol-parpol -yang walau tak duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif- juga tak urung telah ikutan terkooptasi oleh pragmatisme memulung sisa rempah-rempah kekuasaan dan buaian angan-angan jabatan.

Itu bukan hal yang sepele, mengingat situasi yang melingkupi adalah keinginan yang sangat kuat di lingkungan para pemegang wewenang dan kekuasaan untuk tetap mengusahakan semaksimal mungkin agar berhasil membawa kasus Bibit dan Chandra ke depan Pengadilan.

Hal itu, setidaknya dapat disimak dari penegasan Kapolri di depan para anggota Komisi III DPRRI, pada hariJumat dini hari, tanggal 6-Nopember-2009, yang menyampaikan bahwa : “…..Untuk SP3 jelas tidak. Kami nyatakan jelas tidak akan ada SP3 kasus ini. Insya Allah maju terus sampai P21 berkas akan lanjut. Teman-teman Kejaksaan akan fight di pengadilan pada waktunya nanti…..".

Pun demikian juga dengan yang disampaikan oleh Presiden SBY dalam pidatonya, bahwa : “…..sesungguhnya jika kita ingin mengakhiri silang pendapat mengenai apakah Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto salah atau tidak salah, maka forum atau majelis yang tepat adalah pengadilan. Semula saya memiliki pendirian seperti ini.....” .

Selain itu, tidak kalah pentingnya juga adalah peran dari komposisi anggota-anggota Tim Delapan ini –yang entah itu suatu kesengajaan atau malahan suatu kecelakaan- telah membuat independensi Tim ini cukup kokoh dan solid, yang diluar dugaan, mereka tak terkooptasi oleh pragmatisme kekuasaan dan jabatan. Paling tidak itu sangat kentara mereka tunjukkan selama mereka berada dalam Tim tersebut.

Media penyedia Informasi bagi publik juga tak kalah hebat peran dan andilnya. Lantaran peran media massa -baik para jurnalis di media massa arus utama ataupun media massa arus pinggiran- beserta dengan penggiat di komunitas jejaring informasi di internet, maka gaung suara termarjinalkan yang tadinya hanya bergema di kalangan masyarakat pendukung Cicak, menjadi telah tersampaikan kepada khlayak masyarakat luas.

Sehingga opini publik akibat tersampaikannya informasi itu, telah menjelma menjadi kekuatan penekan yang diperhitungkan. Walaupun hal itu, oleh para mereka yang duduk di singgasana kekuasaan beserta para pendukung dan cheerleadernya, telah dipandang sebelah mata sebagai tak mungkin menjelma sebagai ancaman bagi kelanggengan kekuasaan, lantaran diremehkan sebagai sesuatu yang dianggap mustahil bisa melahirkan suatu gerakan massa atau people power. Namun boleh jadi, itu hanya pendapatnya kalangan para cheerleadernya saja.

Ternyata tak demikian yang dilihat oleh patronnya. Justru berkebalikan dengan pendapat para cheerleadernya, Presiden SBY dalam pidatonya menyampaikan, bahwa : “…..Dua hari yang lalu saya juga mempelajari hasil survey oleh Lembaga Survey yang kredibel yang baru saja dilakukan, yang menunjukkan bahwa masyarakat kita memang benar-benar terbelah.....” .

Termasuk juga, barangkali akibat masifnya arus informasi ini, telah memecahkan kaca buram yang ada di jendela Istana Presiden. Dimana hal itu paling tidak dapat disimak dari Pidatonya Presiden SBY yang menyampaikan, bahwa : “…..Dalam perkembangannya, justru yang muncul adalah ketidakpercayaan yang besar kepada pihak Polri dan Kejaksaan Agung, sehingga telah masuk ke ranah sosial dan bahkan ranah kehidupan masyarakat yang lebih besar. Oleh karena itu, faktor yang saya pertimbangkan bukan hanya proses penegakan hukum itu sendiri, tapi juga faktor-faktor lain seperti pendapat umum, keutuhan masyarakat kita, azas manfaat,  serta kemungkinan berbedanya secara hakiki antara hukum dengan keadilan.....” .

Perlu digaris bawahi, di frase : “…..serta kemungkinan berbedanya secara hakiki antara hukum dengan keadilan.....” .

Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai peran dan andil sangat vital sebagai palang pintu yang kokoh. Melalui keputusannya, dimana pada intinya bahwa sebelum vonis bersalah oleh pengadilan, dan berkekuatan tetap, tentunya proses yang panjang sampai di mahkamah Agung, maka pimpinan KPK non aktif belum dapat diberhentikan secara permanen dari jabatannya sebagai pimpinan KPK.

Ini mengandung arti, sekalipun pimpinan KPK sudah berhasil dijadikan terdakwa di pengadilan, statusnya sebagai pimpinan KPK hanya berstatus non aktif yang sementara saja. Dimana jikalau, pengadilan membebaskannya, maka mereka dapat dipulihkan kembali kedudukannya sebagai pimpinan KPK.

Semua itu –tanpa mengecilkan dan menafikan peran dari pihak lainnya diluar yang telah disebutkan diatas- telah membuat Presiden sampai kepada kesimpulannya, yang dapat disimak dari pidatonya, bahwa : .....Oleh karena itu,  solusi dan opsi lain yang lebih baik yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan.....solusi seperti ini saya nilai lebih banyak manfaatnya dibanding mudharatnya……” .

Sebuah kalimat bersayap, namun paling tidak itu dapat sebagai gambaran akhir dari kasus Bibit dan Chandra. Semoga saja, itu bukan hanya fatamorgana saja.

Andai tak ada yang berubah ditengah jalan, penghentian perkara seharusnya dapat terselesaikan dalam waktu 1-2 hari kedepan.

Kalimat bersayap dari Presiden pun kemudian bersambut dengan kalimat bersayap pula. Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Sulistyo Ishaq, menyampaikan bahwa : “…..Nanti akan ada tim yang merumuskan. Tapi yang jelas, presiden menyerahkan ke Polri dan Kejaksaan Agung untuk menyelsaikan kasus ini…..Kalau memang Kepolisian tidak bisa menemukan alat bukti, tentunya di-SP3. Intinya, akan ditindaklanjuti. Tapi hasilnya apa kita tunggu…..” .

Demikian juga dengan Jampidsus, Marwan Effendy, yang menyampaikan bahwa : “…..Ada satu solusi, berkas tersebut bisa dinyatakan lengkap tetapi masih akan diteliti lagi oleh Jaksa Penuntut Umum. Layak atau tidak ke pengadilan. Kita akan tetap menyatakan berkas tersebut lengkap…..Kemungkinan besar Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), tetapi berkas dinyatakan lengkap dulu…..” .

Kalimat yang terasa bernuansa keterpaksaan dan bernada sedikit enggan. Sesuatu hal yang mungkin normal saja, mengingat Presiden SBY juga terkesan tak tegas dalam memberikan shock terapy bagi para aparat di jajaran penegak hukum yang secara hirarki berada dibawah kendali dan kekuasannya.

Salah satu rekomendasi dari Tim Delapan, adalah : bahwa untuk memenuhi rasa keadilan, menjatuhkan sanksi kepada pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum yang dipaksakan, dan sekaligus melakukan reformasi institusional pada tubuh lembaga kepolisian dan kejaksaan.

Pemberian sanksi bagi aparat yang bersalah, seharusnya dapat diartikan pula sebagai shock terapy bagi para aparat di jajaran penegak hukum.

Dalam hal ini, Menkum HAM, Patrialis Akbar mengatakan bahwa meski Presiden SBY tidak sampaikan secara terbuka di dalam pidatonya, namun menyusuli pengumuman sikap resmi Presiden terhadap kasus Bibit-Chandra, akan ada serangkaian reposisi pejabat dalam Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. “…..Tentu akan ada kebijakan lanjutan, kita tunggu saja. Tentu ini tidak beliau umumkan, tapi saya kira di Polri dan Kejaksaan akan ada reposisi…..” .

Hal yang sudah selayaknya dilakukan oleh Presiden. Mengingat didalam pidatonya disampaikan bahwa : “…..serta kemungkinan berbedanya secara hakiki antara hukum dengan keadilan.....” .

Selain itu, reward dan punishment memang seharusnya diperlukan bagi aparat di Kejaksaan Agung maupun di Mabes Polri, terlepas dari perdebatan soal dugaan rekayasa yang membuat mungkinnya terjadi perbedaan secara hakiki antara hukum dan keadilan.

Karena, berkait dengan reward dan punishment, sejatinya adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh pimpinan untuk melakukan tindakan reposisi bagi jajarannya yang dianggap telah gagal menjalankan perintah dan/atau gagal mengamankan kebijakan pimpinan.

Hal itu diperlukan, agar tetap terpelihara disiplin dan soliditas serta loyalitas aparat di jajaran tersebut terhadap pimpinannya.

Hal terakhir adalah soal kembalinya Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ke posisinya semula sebagai pimpinan KPK.

Inilah yang barangkali, walau tak tersurat namun tersirat, di beberapa kalangan terdapat keberatan yang cukup mendalam. Hal mana, nyarinya suara dukungan agar secepatnya dilakukan pelimpahan kasus mereka ke pengadilan, tak terlepas dari soal ini.

Beragam alasan, ada yang bisa jadi menjadi terancam kembali kepentingannya, ada pula yang barangkali menjadi takut dan khawatir terhadap pembalasan dendam yang mereka duga akan dilakukan oleh Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah –jika mereka berdua duduk kembali sebagai pimpinan KPK- kepada mereka yang selama ini telah terlibat dalam upaya mengkriminalkan keduanya.

Semoga saja, andai Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah kembali sebagai pimpinan KPK, membuka hati dan berlapang dada untuk memaafkan dan melupakannya, serta tak melakukan pembalasan dendam kepada pihak manapun juga.

Namun, semoga pula, mereka berdua tak menjadi ciut nyali dan jera untuk tetap secara maksimal melakukan tugas dan kewajiban serta amanah yang diembannya sebagai pimpinan KPK, sebab lantaran trauma dengan pengalaman upaya pengkriminalan yang telah mereka alami itu.

Akankah semua hal tersebut diatas itu akan menjadi kenyataan atau hanya fatamorgana saja ?.

Jawabannya tentu akan kentara dalam waktu 1-2 hari kedepan ini, menjelma menjadi kenyataankah atau fatamorganakah atau hanya angin surga saja.

Akhirulkalam, satu cadas yang besar dan keras serta tajam melukai, telah terlampaui. Masih banyak batu-batu lain yang terhampar di depan. Akankah KPK menunjukkan lagi semangat dan kiprahnya ?. Akankah KPK masih bisa dan mau mendobrak kebuntuan di kasus Century dan kasus-kasus lainnya ?. Rakyat hanya bisa kembali menanti, semoga tak kecewa karena tak ada buah hasilnya.

Wallahualambishshawab.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun