Baca dulu pengantar dari Atos ini:
Tulisan berikut ini bukanlah karya saya (Atos). Ini adalah permenungan seorang sahabat. Dia mengirimkannya pada saya. Dan atas seizinnya, saya mempublikasikan tulisan ini melalui kompasiana. Kalau dilihat dari judulnya, barangkali sedikit kadaluarsa, karena memang pekan suci sudah lewat. Namun, jika mau membaca dan mencermati isinya, tulisan berikut senantiasa up to date. Selamat menikmati.
Dan ini pengantar dari penulis:
Tulisan ini merupakan permenungan pribadi. Meskipun dalam tulisan ini saya banyak menggunakan kata “Gereja menyampaikan...”, namun hal tersebut merupakan apa yang saya hayati dari apa yang Gereja tampilkan dalam serangkaian liturgi di pekan suci.
Saya berterimakasih kepada sahabat saya, yang telah menginspirasi saya bahwa pekan suci merupakan rangkaian yang saling berkaitan. Terutama saya berterimakasih kepada Yesus, yang melalui Roh-Nya, saya imani telah mengijinkan saya untuk menghayati apa yang Ia alami, yang saya tuangkan melalui tulisan ini.
Tulisan ini secara khusus saya persembahkan untuk rekan-rekan seiman agar bersama-sama dapat menghayati misteri paskah dengan lebih mendalam dan membawanya pada peristiwa hidup keseharian.
Tulisan ini juga saya persembahkan untuk teman-teman yang tidak seiman, untuk boleh ikut ‘mencicipi’ apa yang kami rayakan selama paskah. Dalam hal ini, saya tidak bermaksud untuk memaksakan ajaran agama saya, karena saya yakin, iman merupakan milik pribadi yang tidak dapat dipaksakan. Namun, alangkah baiknya jika saya diperkenankan untuk membagikan kebahagiaan yang saya rayakan selama paskah ini.
Salam Paskah,
(Angeline Virginia Kartika)
.
.
Dan ini permenungannya: :) ~selamat menikmati~
Ini merupakan permenungan pribadi saya tentang pekan suci. Setelah merenungkan peristiwa-peristiwa pekan suci secara keseluruhan, saya mengambil tema “paradoks” dalam permenungan tahun ini. Selama peristiwa di pekan suci, “paradoks” merupakan nuansa yang Yesus angkat dalam setiap tindakan-tindakanNya. Yesus hendak menjungkir-balikkan apa yang manusia pikirkan.
Minggu Palma – Sengsara bukan untuk dihindari namun untuk dihadapi
Pada perayaan ini, secara khusus kita merayakan Yesus yang dipuji-puji dan dihormati sebagai Raja saat memasuki kota Yerusalem. Namun, dalam perayaan ini, Gereja tidak hanya menampilkan satu peristiwa bersejarah tersebut, Gereja juga menampilkan kisah sengsara Yesus. Mengapa Gereja menampilkan dua peristiwa ini bersamaan? Padahal, secara khusus, kisah Sengsara Yesus baru dirayakan saat Jumat Agung.
Saya menghayati bahwa Gereja hendak menampilkan pada kita, apa yang sesungguhnya terjadi saat Yesus memasuki Yerusalem. Jika kita memosisikan diri sebagai murid-murid Yesus, yang mengiringi Yesus memasuki kota Yerusalem dan tidak menyadari apa yang akan terjadi selama sepekan ke depan, mungkin saat itu kita ikut memuja-muja Yesus sebagai sosok pemimpin yang sangat dikagumi masyarakat, pemimpin yang dihormati dan diperlakukan seperti seorang Raja. Sehingga ketika kita aplikasikan dalam hidup kita, mungkin kita akan berpikir, “oh seperti inilah sosok seorang pemimpin yang baik; dipuja, dan ditinggikan oleh pengikutnya”
Namun, bukan pesan tersebut yang hendak Gereja sampaikan saat Minggu Palma ini. Gereja mengharapkan kita untuk melihat peristiwa ini secara keseluruhan. Gereja ingin menampilkan apa yang sebenarnya akan Yesus hadapi, yaitu sengsara dan wafat. Dalam merenungkan peristiwa ini, saya berusaha untuk memosisikan diri sebagai Yesus, yang sudah tahu apa yang akan Ia hadapi. Betapa hancurnya Hati Yesus ketika melihat orang-orang yang saat itu memuja-mujaNya, sebentar lagi akan berada di pengadilan, dan meminta DiriNya untuk dihukum mati. Pintu gerbang Yerusalem, bukanlah pintu gerbang yang menghantarNya pada kesuksesan, melainkan pintu yang akan menghantarNya pada kehancuran, yaitu kematianNya. Inilah inti yang mau dirayakan dalam Minggu Palma; Keberanian Yesus dalam menghadapi kehancuran-Nya.
Manusia seringkali takut dalam menghadapi kehancuran dan kegagalan. Peristiwa kegagalan seringkali dianggap sebagai kutukan dari Tuhan sehingga perlu dihindari. Pandangan bahwa kegagalan perlu dihindari ini sudah tertanam, bahkan ditanamkan oleh orang tua pada anaknya. Contoh, ketika seorang anak hendak belajar memegang gelas, orang tua langsung melarangnya “jangan, nanti gelasnya pecah!” Pandangan ini ternyata berlanjut pada masa-masa berikutnya. Saat bersekolah, seringkali siswa menganggap bahwa nilai ulangan yang buruk merupakan malapetaka, sehingga mereka justru menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang baik, seperti mencontek. Ketika sudah bekerja, penghasilan yang kecil dianggap sebagai kegagalan sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar, seperti korupsi.
Yesus ingin mendongkrak pandangan ini, Ia ingin memperlihatkan pada kita bahwa kegagalan merupakan proses yang tak dapat dilepas dari keberhasilan. Seorang anak kecil perlu jatuh beberapa kali sebelum ia akhirnya belajar berjalan dengan baik. Seorang pelajar, akan tahu seberapa kemampuannya ketika ia mengerjakan ujian dengan jujur sehingga ia dapat belajar lebih baik lagi untuk menambah kemampuannya. Seorang karyawan akan mengembangkan potensinya demi mendapatkan kenaikan pendapatan meski dalam mengembangkan potensinya ia akan mengalami beberapa rintangan.
Yesus telah memberi contoh nyata pada kita dengan berani masuk ke Yerusalem untuk menghadapi penderitaanNya. Kini giliran kita, beranikah kita menghadapi penderitaan? Atau memilih untuk melarikan diri dari penderitaan tersebut?
(bersambung ke Bagian 2)
Pekan Suci – Pekan Paradoks, Lambang Iman (Bagian 2)
Pekan Suci – Pekan Paradoks, Lambang Iman (Bagian 3)
Pekan suci – Pekan Paradoks, Lambang Iman (Bagian 4)
Pekan Suci – Pekan Paradoks, Lambang Iman (Bagian 5)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H