Ketika ketiga temanya tergelak berderai-derai, namun tidak demikian bagi Sulan. Dialah pesakitan. di siang itu Sulan sedang menjadi perolokan teman-temanya.Ia diam, dirinya dihinggapi rasa kesal dan marah tapi berusaha menahanya. Apalagi saat ketiga temanya berbarengan menunjuk kearahnya sambil mentertawakannya. Maklum, diantara mereka berempat, hanya dia sendiri yang mempunyai kulit tubuh paling legam, dekil (busik) kurus dan kecil. Wajar saja dia tersinggung saat kawanan burung tlimbukan itu menceracau seolah memperolok kulitnya yang busik itu. Lebih marah lagi ketika ketiga temanya, Warjo, Daim, dan Damin, memprosotkan katok kolornya (celana pendek) sambil menunjuk keburung cucakrowo miliknya itu. Ketiganya semakin tertawa geli, sampai terjungkal-jungkal ditengah hutan pete cina, sambil jarinya menunjuk-nujuk kearah burung cucakrowo milik Sulan yang menggantung lesu diantara pangkal pahanya. Karena ulah burung tlimbukan, dan ketiga temanya itu, Sulan semakin terintimidasi, lalu menaikan katok kolornya dengan malas dan kesal.
“Wah, bener kata burung tlimbukan itu ternyata pelinya juga busik, guede lagi kaya milik orang tua!
“Ha ha ha ha ha....!!! Gelak tawa ketiganya makin menghambur tak berperasaan
Sulan, semakin terintimidasi. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Sulan yang mungil itu. Air mukanya merah padam, bibirnya bergetar, menandakan dirinya benar-benar marah kepada ketiga temanya itu. Terlebih lagi kepada burung tlimbukan. Gara-gara burung itu dirinya menjadi bahan perolokan ketiga temanya. Namun burung itu tak acuh dengan kemarahan Sulan. Malahan makin berjingkat-jingkat, berpindah-pindah, dari pohon satu kepohon yang lainya, kini hinggap kepohon johar, tepat dibawahnya Sulan berdiri gemas menekuri nasib, sepuluh jainya mengepal, Sulan benar-benar naik pitam.
“Asu telesss! Kenapa burung sialan itu makin mendekat! Sulan bergumam geram karena burungpembawa sial itu seolah-olang sengaja mendekatinya, untuk lebih mempermalukanya, sambil terus mengkampanyekan ceracaunya yang menyiksa hati Sulan.
“Peli busiiiik, peli busiiiik, peli busiiiik, sik sik sik....!!! Semakin kemarahan Sulan memuncak, ceracau burung itu semakin menjadi-jadi, memancing ceracau keluarga burung sejenis untuk satu suara memperolok Sulan. Setidaknya bagi peasaan Sulan sendiri. Kini, diatas ranting pohon, sengon, johar, pete, turi, dan pohon duri liar, riuh dengan ceracau kawanan burung tlimbukan itu. Bukan hanya kawanan burung tlimbukan, tapi kawanan burung branjangan turut abil bagian dengan kepiawaianya menirukan ceracau burung lain. Persis seperti Warjo, Daim, dan Damin, yang terus mentertawakanya sampai terkencing-kencing.
Semakin lama bukan hanya bibirnya saja yang bergetar, tapi seluruh tubuhnya ikut bergetar hebat, rupanya kemarahan Sulan kian membuncah. Sulan masih tetap diam. Tapi diam-diam tanganya bergerak, diraihnya ketapel yang tergantung dilehernya, wajahnya mendongak memastikan kawanan burung itu tak melarikan diri, tubuhnya berjongkok dengan tangan kananya meraba-raba mencari kerikil tanah kering, lalu dipasangnya kerikil tanah kering itu pada tali karet ketapel, dan diarahkanya senjata itu pada salah satu burung yang terus berjingkat-jingkat di dahan terendah, sambil terus menceracau memperoloknya. Setidaknya menutut perasaan Sulan sendiri. Tlimbukan, sama sekali tak menyadari bahwa bahaya sedang mengancamnya. Tentu saja yang dilakukan burung tlimbukan itu bukan sengaja memperolok salah satu kawanan anak manusia itu, melainkan ceracau alami yang diberikan sang pencipta. Tapi rupanya suara ceracau yang dimilikinya itu pas sekali untuk memperolok kawanan anak manusia yang bertubuh busik (dekil) seperti Sulan. Yang sebenarnya lukisan orang udik, miskin, dan bodoh secara menyeluruh. Sehingga ceracaunya kerap dicatut kawanan anak manusia untuk memperolok temanya.
Kasihan, kawanan burung itu. Hanya kerena ceracaunya di pelesetkan oleh kawanan anak manusia, kini nyawanya bergantung pada kerikil tanah pada ketapel Sulan. Jika Sulan benar-benar penembak jitu.
Ditariknya pegas karet ketapel itu kuat-kuat, dengan penuh kosentrasi dan giginya yang gemeretak, seperti seorang gerilyawan yang sedang menarik pelatuk senjatanya, siap menjungkalkan kawanan penjajah keparat yang menginjak-injak harga diri sebuah bangsa. Namun kali ini tak ada kaitanya dengan bangsa, melainkan dengan Sulan sendiri. Sulan mengangap kawanan burung tlimbukan itu telah menginjak-injak harga dirinya, hingga pantas untuk menerima pembalasanya.
“Setelah burung sialan ini menerima akibatnya, nanti giliran kalian, “Wahaiiiii, teman-temanku yang tak berperasaan? tunggulah! Tunggulah pembalasanku! Diam-diam Sulan siap melancarkan pembalasan kepada ketiga penjajah yang dianggapnya tak berperasaan. Bahayanya, rencananya ini tak diketahui oleh ketiganya. Warjo, Damin, dan Daim tetap dengan polahnya memanfaatkan kelemahan korban, tapi mereka tak mengetahui rancana Sulan. Sungguh rencana yang terselubung. Rencana apakah yang kan dilakukan, untuk membungkam mulut liar para bromocorah itu.
“Wuuuuuussssssssssssssssssss! Berbarengan dengan dilepasnya pegas karet ketapel yang ditarik Sulan melesatlah krikil tanah kering laksana peluru kendali, dengan kecepatan puluhan Knot, mengarah pada sasaran tembak.
“Plaakkk! Peluru kendali dari kerikil tanah kering itu tepat mengenai sasaran. Seketika seekor burung tlimbukan naas itu terjungkal, terlepas dari ranting pohon johar, meluncur kebawah laksana seorang penerjun yang mengalami trouble pada payungnya, sehingga tak dapat mengembang. Pada saat semakin kuatnya tarikan gravitasi bumi, Sepasang mata eksekutor itu tak sanggup berkedip, memperhatikan korbanya meluncur kebawah tak berdaya, tergulung angin membentuk sepiral. Senyum tanda kemenangan itu mengembang dari bibir Sulan. Sang penembak jitu, Sulan, telah melakukan pembunuhan tanpa rasa iba. Tepuk dada sang eksekutor udik.
(Next: lanjutan 2-Novel (KILAR)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI