Beragam agama ada pada tubuh bangsa kita. Beragam pula orang beragama. Mungkin hanya segelintir orang saja yang tidak beragama bahkan mungkin tidak ada. Semua orang beragamama pasti mengklaim ajaran agamanya itu luhur, baik, tidak pernah mengajarkan yang salah. Itu betul agama memang tidak pernah mengajarkan yang salah. Namun apa yang salah dari orang yang beragama itu. Mengapadari mayoritas masyarakat beragama tidak mampu menjaga martabat dan kehormatan bangsanya sendiri. Bangsa sendiri diperkosa sampai tidak berdaya. Hingga hancur terjangkit penyakit krisis multi dimensi yang sampe sekarang tak kunjung sembuh. Kalau ditanya Apa yang salah dari ajaran agama? Pasti akan menjawab bukan ajaran agamanya yang salah Tapi, orangnya. Nah itu ngaku walaupun sedikit malu-malu!. Berarti memang jelas orang-orang beragamalah yang tidak mampu merealisasikan ajaran luhur suatu agama bahkan mungkin tidak mau merealisasikanya. Walaupun tidak semua orang beragama seperti itu, tapi mayoritas seperti itu. Lho kok anda bilang mayoritas?. Lha iya faktanya sangat jelas kok. Coba lihat pada saat musim kampanye, partai-partai politik pada menjual agama demi mulusnya kepentingan. Padahal mereka semua orang yang beragama. Kalau agama sudah di campur dengan kepentingan politik terus apa yang kita harapkan lagi. Mari kita sadari bersama bahwa agama harus terbebas dari kepentingan. Tapi agama memang membawa misi, dan misinya hanya satu, yaitu; Salam. Hidup selamat, sejahtera, sentausa. Terus gimana masak orang beragama tidak boleh berpolitik? Siapa bilang orang beragama tidak boleh berpolitik! Tentu saja boleh dan sah-sah saja. Yang tidak boleh itu memanfaatkan agama demi kepentingan politik. Tapi berpolitik dengan ajaran agama itu-kan baik? Tentu saja. Kita mesti bisa membedakan berpolitik dengan ajaran agama dengan memanfaatkan agama demi kepentingan politik. Mari kita lihat pebedaan dan dampak keduanya dalam mastarakat.
Pertama. Berpolitik dengan ajaran agama adalah. Menggunakan ajaran agama sebagai ilmu politik. Maka dengan seperti itu politik seratus persen dipengaruhi oleh ajaran luhur agama. Bila cara pertama ini yang digunakan oleh semua partai politik kita, maka hasilnya kita akan merasakan nuansa politik yang sehat dan agamis. Karena yang ditonjolkan oleh orang-orang yang berpolitik adalah keluhuran ajaran agamanya. Bila demikian walau-pun ada 1000 partai politik yang bersaing tidak akan terjadi pertikaian dan permusuhan. Karena yang diusung oleh masing-masing nilai luhur sebuah ajaran. Luhur versus Luhur = berpelukan dan toleransi perdamaian. Tentu saja harus ada modalnya dulu. Yaitu jujur terhadap ajaran agama masing-masing.
Kedua. Memanfaatkan agama demi kepentingan politik adalah. Agama dianggap barang dagangan yang dapat diperjual belikan. Ini ilmunya pedagang. Yang diambil untung dari hasil jualan agama. Agama seratus persen dipengaruhi kepentingan para politikus. Keluhuran ajaran agama dikesampingkan bahkan tidak di perdulikan. Tujuanya bagaimana partai politiknya dapat merekrut massa sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang beragama. Dalam wilayah ini yang terjadi adalah dogma dan doktrin dari sebuah agama. Dan yang diusung adalah perbedaan agamanya. Maka tidak jarang caci maki terhadap agama mewarnai pergulatan ini. Akhirnya partai politik yang mengusung agamanya dibela mati-matian. Dan partai politik yang tidak mengusung agama atau mengusung agama lain dimusuhi dan harus dimusnahkan. Terjadilah pertikaian dan saling benci. Karena pergulatan politik sekalanya nasional. Jangan heran kalau pertiakain dan kebencian yang mengatas namakan agama-pun sekala nasional juga. Pantas bila iklim bangsa kita tidak pernah kondusif. Ternyata cara berpolitiknya seperti itu.
Marilah kitamembandingkan cara pertama dengan cara kedua. Dengan perbandingan ini diharapkan kita akan mendapatkan kebenaran obyektif. Jika cara yang pertama yang dijadikan landasan berpolitik oleh para politikus kita maka yang akan terjadisystem politik yang luhur dan bijaksana. Sesuai dengan keluhuran dan kebijaksanaan ajaran agama. Dan itulah yang dinamakan menghidupkan agama. Bukan mencari hidup di dalam agama. Dalam hal ini penulis tidak mau membedakanmaupun menyamakan agama tertentu. Yang jelas agama mana-pun mengajarkan yang luhur dan baik. Dan apabila ajaranya yang benar-benar di ikuti dengan baik tidak mustahil kehidupan yang damai sejahtera bisa dicapai secepat kilat. Karena ajaran agama sesungguhnya ilmu hidup.
Tapi sayangnya cara kedualah yang kerap dipraktekan sebagai landasan berpolitik. Cara inilah yang sepertinya sudah lazim. Walaupun sering mengatasnamakan agama misalnya saat-saat kampanye tetap saja penyimpangan ajaran agama tetap ada disana-sini. Para politikus rajin sungkem sowan kepada seorang ulama. Kiyai. Hanya cari dukungan dan simpati dari keduanya. Setelah sudah duduk di kursi DPR malah enak ketiduran dan ngompolin (buang air kecil disaat tidur) para ulama dan tuan kiyai. Ajaran agamanya tidak membekas samasekali. Bahkan dinodai dengan perbuatanya yang suka koropsi. Bahkan bukan hanya korupsi sekandal perempuan-pun kerap mewarnainya. Agama hanya dijadikan tunggangan politik setelah sampaiagamanya didepak tidak diurus bahkan dinodai dengan gelar barunya, “ koruptor. Pola-pola destruktif menghujat lawan politiknya seakan melengkapi perpolitikan kita. Agama diperkosa (dicabuli) seenaknya sendiri. Cari hidup didalam agama. Setelah hidup tidak tau diri. Boro-boro mikirin rakyat dirinya sendiri saja sedang berurusan dengan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H