Mohon tunggu...
Politik

Fatsoen Kompasiana

3 April 2017   22:30 Diperbarui: 4 April 2017   16:32 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fatsoen secara maknawiyah dapat diartikan sebagai sopan santun, tata krama atau etika. Fatsoen dapat juga diartikan sebagai aturan tidak tertulis yang mengatur hubungan antarindividu dalam pergaulan. Aturan ini lebih sering berkaitan dengan proses hormat menghormati antarpersonel, baik secara verbal maupun nonverbal.

Pada komunikasi yang bersifat langsung, pesan yang disampaikan biasanya didukung faktor-faktor lain. Bahkan dalam situasi tertentu, gesture dan intonasi sangat berperan dalam menentukan apa sebenarnya isi pesan yang sedang disampaikan atau bagaimana reaksi seseorang terhadap sebuah pesan yang dia terima. Pada beberapa suku, termasuk Jawa, “ya” kadang dapat berarti sebaliknya. Hal itu harus dilihat dulu bagaimana ekspresi dan intonasi yang digunakan saat mengucapkan kata itu. 

Contoh paling nyata dari situasi yang saya maksud adalah The Smiling General, Bapak Soeharto. Presiden RI II itu sangat pandai menyembunyikan perasaannya di balik senyumnya yang khas. Hanya orang-orang terdekatnya saja yang tahu pasti apa arti senyuman itu. Bisa saja beliau tertawa-tawa di depan mahasiswa dan esoknya mahasiswa tersebut diinterograsi Pangkoptib.

Seiring perkembangan jaman, jenis komunikasi pun mengalami perubahan bentuk dan cara. Setelah era komunikasi lewat surat dan telepon, sampailah kita pada era komunikasi lewat sosial media. Pada tahap inilah problem yang berkaitan dengan fatsoen mulai bermunculan. Pada saat kita berkomunikasi dengan orang yang kita kenal, baik lewat surat maupun telepon, rasa ewuh pekewuh, segan, malu, takut, dan kuatir masih kita miliki. Kita akan cenderung hati-hati dalam bersikap dan memilih kata.  Hal tersebut kita lakukan untuk menghindari efek negatif dari ucapan yang kita lontarkan dan sikap yang kita tunjukkan. Lebih-lebih jika kita sedang berkomunikasi dengan seseorang yang punya kuasa untuk menentukan “hidup-mati” kita.

Munculnya twitter, facebook, whataps, instagram, dan beberapa media yang menyediakan sarana berkomunukasi antarnetizen, telah mengubah wajah dan cara berkomunikasi seseorang. Di sini, fatsoen pun mulai kehilangan tempatnya. Ukuran adab yang identik dengan budaya ketimuran mulai diabaikan. Perasaan merasa aman karena tidak kenal kepada lawan komunikasi memicu kita untuk “berbicara lewat keyboard” dengan seenaknya. Kita enteng saja mengumpati siapapun. 

Kita dengan mudah melontarkan hinaan kepada siapapun yang kita tidak suka. Bahkan, kadang kita tanpa risih melontarkan fitnah atau menyebarkannya tanpa merasa perlu harus bertabayun lebih dulu. Jangankan kepada sesama netizen, kepada presiden pun tidak lagi merasa sungkan. Seolah ID, IP, account,  jarak, layar monitor, atau dinding ruang akan melindungi kita dari masalah yang bakal timbul akibat kelakuan kita. Bahkan, UU IT yang semakin galak pun tak lagi menakutkan demi menyalurkan perasaan senang atau tidak senang kita.

Jutaan fakta dan hoax bertebaran di Internet. Hanya orang yang punya kemampuan dan kemauan yang mampu memilih, memilah, dan membedakan dua hal yang sangat berbeda tersebut. Kita perlu selalu melakukan cross cek dan recek agar kita tidak terhanyut pada “irama gendang” yang sedang dimainkan orang lain. Kita harus mulai meruncingkan hati nurani kita agar lebih tajam dalam menanggapi sebuah infromasi. Dan yang paling penting, kita harus mulai mengosongkan hati dan pikiran kita dari kotoran yang berbentuk kebencian, kecurigaan, dan iri dengki lalu mengisinya dengan kebaikan, cinta, dan kemanusiaan.

Bahasa menunjukkan bangsa. Siapakah kita sesungguhnya akan terlihat dari bahasa yang kita gunakan. Kelicikan, keangkuhan, kedengkian, kebencian, keberpihakan, kebijaksanaan, kearifan, keluhuran, dan bagaimana kita memanusiakan manusia dapat kita temukan di balik kata dan tanda baca yang kita pilih. Bagiamanapun kita coba menyembunyikan rapat-rapat jejak-jejak tersebut pasti akan dapat ditemukan. Tidak ada seorangpun yang bebas dari tanggung jawab. Harapan kita, semoga kelak anak-cucu kita menemukan jejak kakek moyangnya yang menjunjung tinggi fatsoen di dunia maya.

Bahasa di sosial media semakin vulgar dan telanjang serta kering akan cinta. Kita perlu  kembali menguri-uri budaya adiluhung yang bernama fatsoen itu agar tidak punah. Sopan santun dan tata krama adalah kebanggaan bagi bangsa ini karena tidak banyak hal lain yang bisa kita dibanggakan. Kita di sini tentu saja termasuk para kompasianer di kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun