(Foto: koleksi pribadi)
Ladakh dengan ibukotanya Leh adalah daerah semi-otonom di negara bagian paling utara India, Jammu dan Kashmir, berbatasan langsung dengan Pakistan dan China. Terletak di lingkaran pegunungan Himalaya dan melewati empat musim dalam setahun, Ladakh hanya terbuka bagi wisatawan di musim panas. Wisatawan yang ingin datang diluar bulan Juni-September boleh saja, tapi sangat tidak disarankan. Jalan darat dari bulan Oktober biasanya sudah ditutup sampai musim panas tiba di bulan Juni atau Juli. Turis memang tidak lazim datang di bulan tersebut walaupun akses lewat udara kadang-kadang masih dibuka jika tidak terjadi cuaca ekstrim. Turis mulai berdatangan ke Ladakh sekitar tahun 1974.
Kondisi alam wilayah Ladakh dominan gersang dan tandus, minim vegetasi. Posisinya di ketinggian gugusan pegunungan Himalaya membuat kontur wilayah ini penuh dengan dataran tinggi berbukit-bukit, banyak lembah dan celah sempit, serta rawan longsoran. Curah hujan rendah dan matahari bersinar hampir tiga ratus hari dalam setahun, membuat Ladakh selalu menawan dengan langit biru jernihnya yang menginspirasi. Tapi badai bisa datang kapan saja. Begitu pula dengan suhu udara, walaupun di tengah puncaknya musim panas kita kadang tetap butuh switer di siang hari, malam hari udara bisa minus. Di musim dingin suhu kadang terjun bebas di bawah -20 derajat Celsius, hotel-hotel akan tutup atau menaikkan tarif berkali-lipat. Biasanya saat musim dingin datang, pedagang souvenir di Ladakh akan bermigrasi ke Goa-salah satu kota pantai terkenal di selatan, atau ke kota lainya di India.
Ladakh bisa dicapai lewat darat dan udara. Airport Kushok Bakula Rinpoche (IXL) di Leh termasuk salah satu bandara komersil tertinggi di dunia. Terletak di ketinggian 3.256m di atas permukaan laut. Ada beberapa airline domestik India yang melayani penerbangan lokal Delhi - Leh, Srinagar - Leh dan Jammu - Leh. Semua jadwal kedatangan dan keberangkatan hanya ada di pagi hari. Lewat siang hari, serangan angin kencang atau badai gunung sering mengganggu penerbangan. Pengamanan di bandara Rinpoche termasuk lumayan ketat. Saat mendarat jam 10 pagi dengan pesawat Kingfisher dari Delhi, saya kaget sewaktu turun dari pesawat melihat beberapa tentara di landasan. Hampir di tiap sudut terlihat tentara India berjaga. Wisatawan dilarang mengambil gambar, walaupun masih banyak juga yang nekad, termasuk saya sendiri. Saya pura-pura tidak mendengar ketika salah seorang tentara menegur dan menyuruh saya memasukkan kembali kamera ke dalam tas. Padahal baru dapat tiga kali jepretan, lumayan lah..!
[caption id="attachment_194443" align="aligncenter" width="300" caption="Sudut landasan bandara Rinpoche"]
Saat akan keluar dari gedung terminal pun semua penumpang yang datang harus mengisi blanko isian kedatangan, lengkap dengan biodata pribadi, datang sendiri atau dengan teman, hotel tempat menginap, durasi kunjungan, serta tujuan berikutnya setelah Leh. Semua pertanyaan wajib diisi. Secara umum untuk Jammu dan Kashmir memang mendapat perhatian keamanan berlebih dari pemerintah India, jika dibandingkan dengan Negara bagian lainya. Wilayah Ladakh sendiri memang tidak ‘sepanas’ Kashmir. Salah satu contoh proteksi dari gangguan keamanan yang cukup lebay adalah diblokirnya simcard prabayar, padahal simcard nasional itu saya beli di Kolkata! Apesnya lagi pemblokiran berlaku menyeluruh untuk Negara bagian Jammu dan Kashmir. Alhasil, selama lebih satu minggu disana, ponsel saya tidak bisa digunakan sama sekali untuk menelepon atau sms. Padahal di negara bagian lain tak masalah, tetap bisa aktif dan dapat sinyal. Akibatnya saya jadi mati gaya, ga bisa update status!
Oh ya, ada yang menarik sewaktu di atas pesawat tadi. Sekitar 10 atau 15 menit sebelum mendarat, pilot menginformasikan bahwa semua penumpang harus melihat ke keluar jendela, kalau tidak maka akan menyesal seumur hidup, bisa aja tu pak pilot! Spontan semua kepala berebut mengarah ke jendela pesawat. Wow….. Ternyata di bawah sana terbentang pegunungan Himalaya! Begitu jelas terlihat hamparan lekuk-lekuk eksotik permukaanya yang tandus, bahkan juga ada yang masih diselimuti salju. Jaraknya seolah begitu dekat sekali dengan pesawat. Kami beruntung saat itu cuaca lumayan cerah. Saya yang kebetulan duduk di deret isle terpaksa bergantian dengan penumpang di sebelah agar bisa ikut mengintip ke bawah. Riuh terdengar decak kagum, dan semua penumpang terlihat puas setelah mengabadikan pemandangan di kamera masing-masing. Saya berasa sedang mengambang di planet Mars, bahkan lanjut membayangkan saya sedang terbang dengan naga mengarungi gunung-gunung di zaman pertengahan, halahh….!
[caption id="attachment_194447" align="aligncenter" width="300" caption="Aerial view dataran tinggi Himalaya"]
Alternatif lain untuk mencapai Leh adalah melalui jalur darat. Bisa melalui arah barat dengan rute Srinagar - Leh atau dari negara bagian Himachal Pradesh, Manali - Leh, dua-duanya dengan kondisi jalan yang penuh tantangan dan melelahkan, namun akan terbayar dengan pemandangan yang menakjubkan. Jalur Srinagar – Leh biasanya ditutup sejak November sampai Mei, sedangkan Jalur Manali – Leh dari Oktober sampai Mei, disebabkan seringnya terjadi longsor dan tebalnya salju. Perjalanan memakan waktu satu sampai dua hari.
[caption id="attachment_194449" align="aligncenter" width="300" caption="Fort road"]
Dari bandara saya menyewa taksi prabayar menuju pusat kota tua Leh untuk mencari penginapan. Menurut informasi di buku perjalanan wisata, kalau mau dekat kemana-mana sebaiknya mencari penginapan di sekitar Old Town. Saya memang sengaja tidak booking hotel di awal, maklum aja backpacker. Tapi nama penginapan dan alamatnya sudah saya catat jauh-jauh hari sewaktu masih di Delhi, hasil dari membaca-baca buku Lonely Planet. Mobil berjenis minivan itu menempuh waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke pusat kota. Dari dalam mobil saya memperhatikan suasanan kota Leh yang sangat jauh berbeda dengan Delhi atau kota-kota lain di India. Leh relatif jauh lebih sepi, tidak banyak manusia terlihat di jalan, tidak berisik dengan bunyi klakson kendaraan bermotor, cenderung bersih walaupun kadang jalananya berdebu dan pemandangan tandus mendominasi di sekeliling.
[caption id="attachment_194450" align="aligncenter" width="300" caption="Ibu pemilik guesthouse sedang memintal kapas"]
Â
Guesthouse itu terletak di Fort road, hanya lima menit berjalan kaki ke Old Town Leh atau pusat bazaar. Penginapan sederhana dengan enam kamar itu dijalankan oleh keluarga suku Ladakhi. Wajah mereka cenderung mirip orang Tibet, kulit kemerahan dan suka tersenyum. Kamar yang disewakan terletak di lantai dua, sementara mereka sendiri tinggal di lantai bawah. Setelah deal harga saya diantar ke kamar di lantai dua. Kamar dengan jendela besarnya memanjakan mata dengan pemandangan taman serta puncak pegunungan di kejauhan. Tuan rumahnya sangat ramah, saya disuguhi chai hangat dan sebotol air putih saat datang, diantar langsung ke kamar. Ketika memeriksa paspor saya untuk didata, si bapak pemilik itu tidak tahu dimana letak Negara Indonesia berada, saya hanya tertawa maklum. Sepertinya untuk ukuran wajah seperti saya ini dia hanya tahu Korea atau Jepang, karena mungkin turis dari kedua Negara itulah yang sering datang menginap disana. Tidak lama setelah itu datang lagi tiga orang turis lain, mengisi kamar di sebelah kamar yang saya tempati. Kami berkenalan, yang satu gadis Jepang dan sepasang lagi dari Israel. Ternyata mereka mendarat tidak lama berselang setelah saya, cuma berbeda pesawat saja. Kami tidak lama mengobrol, saya pamit masuk ke kamar, badan saya lemas bukan main, sudah terasa lemah lunglai sejak naik taksi dari bandara tadi.
Di kamar saya mencoba menenggak air putih kemasan lalu menghempaskan badan ke ranjang. Udara terasa makin dingin, padahal baru jam 10 pagi. Dengan badan lemas yang mulai susah digerakkan saya memasangkan kaos kaki dan sarung tangan, mencoba untuk tidur. Bernafas rasanya susah sekali, hanya bisa menghela pendek dan pelan, kepala pun berat untuk digerakkan. Saya merasa ketakutan akan terserang AMS alias Acute Mountain Sickness, tapi saya usahakan untuk tetap rileks dan tidak panik. Dengan tenaga yang tersisa saya langsung merogoh ke dalam backpack mengambil obat sejenis paracetamol yang saya beli di sebuah apotik di Delhi, dan meminumnya langsung 2 tablet. Saya berdoa agar tidak terjadi apa-apa, semoga saja tubuh saya bisa beradaptasi dengan ketinggian Ladakh secepat mungkin. Tidak menunggu lama saya pun jatuh tertidur.
Saya baru terbangun sekitar pukul satu siang. Ada perasaan aneh. Sepertinya tadi saya bukan tertidur, tapi mungkin pingsan (kurang yakin juga). Ada beberapa saat dimana saya tidak merasakan apa-apa, atau ingat apapun. Tapi saya berpikir positif saja. Yang penting saya sudah terbangun dan bisa menggerakkan anggota badan dengan lebih ringan. Saya menenggak air putih lagi dan memandang ke luar jendela. Saya membuka buku yang menerangkan tentang AMS, masih penasaran.
AMS menyerang mereka yang berpindah cepat dari dataran rendah ke dataran tinggi, tubuh dipaksa untuk beradaptasi dengan kondisi oksigen yang lebih tipis. Tidak ada yang bisa memprediksi siapa yang akan terserang AMS, bisa tua maupun muda. Gejala akan terasa 24 jam atau lebih, mulai dari saat kita berada di ketinggian, biasanya ketinggian diatas 3.000m, yang terparah gejalanya mungkin bisa terasa sampai tiga minggu. Apalagi untuk mereka yang mencapai Leh dengan menggunakan pesawat terbang, dari Delhi, tubuh pasti kaget dengan kondisi ketinggian yang tiba-tiba, karena waktu yang singkat sekali untuk menyesuaikan diri. Jadi istirahat satu sampai dua hari adalah pilihan wajib untuk aklitimasi. Ada beberapa tempat juga di Leh yang menjual Oxygen Bar, untuk membantu meredakan altitude sickness, harganya sekitar 25 Rupee per menit.
Â
[caption id="attachment_194477" align="aligncenter" width="300" caption="Dengan Noe, bersantai di taman belakang guesthouse"]
Apa yang saya alami tadi mungkin belum termasuk dari Acute Mountain Sickness, baru sekedar gejala awal tubuh terhadap ketinggian. Saya beruntung sudah menyiapkan obat pereda gejalanya. Sindrom ringan AMS biasanya sakit kepala, lemas, mati rasa, hilang napsu makan, bahkan susah tidur. Gejala yang lebih fatal adalah susah bernafas, batuk kering, sakit kepala akut, muntah, pingsan, dan bahkan bisa berujung kematian. Biasanya si korban AMS dibawa kembali turun ke dataran rendah, 1.000m atau 500m untuk penyesuaian. Di jurnal para pendaki gunung professional biasanya disebutkan bahwa AMS bisa dicegah dengan naik ke ketinggian secara pelan dan bertahap. Tiap ketinggian 1.000m disarankan beristirahat membiarkan tubuh untuk beradaptasi dulu, dan apabila sudah melebihi ketinggian 3.000m, sebaiknya tubuh diistirahatkan di tiap ketinggian 300m untuk melanjutkan ke pendakian berikutnya. Semua nya memang bergantung pada fit atau tidaknya kondisi tubuh seseorang. Disarankan juga untuk banyak minum air putih, mengkonsumsi makanan ringan dengan karbohidrat tinggi, serta menghindari alcohol dan obat-obatan. Dan jadilah seharian saya cuma tidur-tiduran saja di dalam kamar, tidak banyak bergerak sampai keesokan hari.
[caption id="attachment_194452" align="aligncenter" width="300" caption="Thukpa, Tibetan noodle soup"]
Sebelum jam dua siang, saya berniat mengisi perut yang pasti sudah kosong. Masih dengan kondisi badan lunglai saya berjalan ke luar penginapan. Cafe dan restoran banyak tersebar di dekat main bazaar. Dari penginapan jalananya agak mendaki, membuat saya semakin ngos-ngosan. Benar juga informasi yang saya baca tadi, sebaiknya di hari pertama kedatangan kita istirahat dulu, jangan banyak melakukan gerakan fisik. Kalau tidak ingin mengganjal perut, saya tidak akan beranjak dari kamar, apalagi perut tidak berasa lapar-lapar sangat. Cukup banyak pilihan restoran di kota Leh, ada restoran masakan Eropa, India, Tibet, Israel dan juga Asia. Tapi sepertinya yang mendominasi adalah cafe dengan rooftop dan restoran dengan menu khusus pizza Italia.
Saya akhirnya singgah di sebuah café di jalan Fort Road, masih lumayan dekat dari guesthouse. Saya pilih duduk di balkoni, biar bisa melihat orang-orang yang lalu-lalang sambil menyantap makanan. Daftar menu cukup lengkap, mulai dari masakan Eropa sampai Asia. Berhubung ingin membangkitkan nafsu makan, saya coba memilih makanan sejenis mie kuah, rotee dan omelet, minumanya air es jeruk nipis dan terakhir saya pesan teh jahe hangat yang katanya bisa meminimalisir dampak AMS. Syukurlah bisa menambah energi biar kuat melangkah balik ke penginapan.
Setelah sampai di penginapan, saya dikagetkan dengan panggilan Noe, si pria Israel di kamar sebelah. Dia menanyakan apa yang saya tahu mengenai AMS. Saya jelaskan sedikit lalu menyuruh dia membaca buku yang tadi saya baca. Ternyata Milki, teman perempuanya, baru saja mengalami muntah-muntah dan sesak nafas. Saya coba menenangkan dan memberikan obat paracetamol yang saya punya, tapi ternyata dia sudah minum sebelumnya. Noe cerita tadi setelah check in mereka langsung jalan keluar cari makan, mungkin karena terlalu jauh berkeliling Milki jadi kelelahan dan tidak kuat lagi. Kasihan juga melihat dia cuma bisa terbaring lelah di ranjang, tak bisa bicara dengan suara agak keras. Noe terlihat agak khawatir takut kondisi Milki akan bertambah parah, soalnya ini adalah kedatangan Milki yang pertama kali ke Leh, kalau dia sendiri sudah beberapa kali berkunjung ke Ladakh. Noe sebenarnya ingin membawa Milki ke rumah sakit terdekat, tapi Milki menolak. Saya jadi berpikir, kalau misalnya tadi pas datang saya tidak minum obat dan istirahat dulu, mungkin saya juga akan bernasib sama dengan Milki, karena ini juga pertama kalinya saya berkunjung ke Ladakh. Ketinggian Leh yang rata-rata 3.500m di atas permukaan laut bisa jadi membawa petaka bagi kita yang tidak siap siaga, kita dituntut untuk mengerti kondisi tubuh masing-masing, agar bisa bersahabat dengan ketinggianya.
Dan akhirnya dengan terpaksa hari pertama kedatangan saya habiskan dengan tidur-tiduran di kamar dan duduk di taman belakang penginapan. Mendengar musik dan membaca-baca buku tentang apa yang harus saya lihat selama di Leh, untuk menghindari kebosanan.
Tempat-tempat yang wajib dikunjungi antara lain, Leh Palace, Old Town, Santi Stupa, Moti market, serta jangan lupa mampir ke puluhan Gompa dan Monasteri. Bagi penggemar wisata petualangan, trekking, camping dan safari adalah pilihan aktivitas yang wajib dilakukan selama di Ladakh. Ladakh menawarkan banyak ketinggian puncak gunung yang selalu membuat petualang penasaran untuk menaklukkanya. Di kota Leh juga menjamur agen perjalanan yang menawarkan paket tur sehari atau maksimal dua mingguan untuk mengeksplorasi objek-objek menarik lainya di Ladakh. Nubra Valley, Khardungla Pass, Pangong Tso, Lamayuru, atau Tso Moriri adalah yang paling populer di antaranya. Beberapa tempat tersebut mengharuskan turis mempunyai inner permit untuk memasukinya. Permit bisa diurus melalui travel agency kalau tidak mau mengurus sendiri ke otoritas. Biasanya kalau kita ambil paket tur, permit sudah otomatis diurus oleh biro perjalannya.
Beberapa fakta lain tentang Leh, Ladakh:
- Kota yang eco-awareness
Di Leh air bersih sangat berharga. Turis disarankan mengisi ulang botol minumnya, tidak disarankan membeli air kemasan baru untuk mengurangi sampah plastik. Rata-rata penginapan menyediakan air panas buket untuk mandi. Penggunaan sabun dan diterjen juga ditekan seminimal mungkin. Turis juga disarankan mengkonsumsi makanan lokal seperti misalnya aprikot dan buah-buahan lainya secara langsung, daripada memakan buah impor atau sofdrink dengan kemasan yang pasti mengandung plastik. Kebanyakan rumah dan penginapan sudah mempunyai sistim daur ulang tradisional Ladakh untuk mengubah kotoran manusia menjadi sampah organik.
- Krisis listrik
Saya cukup kaget ketika malam pertama di Leh, tengah malam saya terbangun dari tidur dengan kondisi gelap gulita. Sempat panik dengan suasana yang begitu gelap buta dan hening, saya pikir saya udah diculik makhluk dari alam lain. Saya buka kain jendela untuk mengintip ke luar, ternyata terang saja, bukan karena cahaya lampu, tapi cahaya bulan yang benar-benar sedang bersinar bulat penuh. Saking terang cahayanya, saya bisa melihat puncak-puncak pegunungan di kejauhan. Berada di suasana alam seperti itu, rasanya berbalik ke seribu tahun lalu. Mungkin dahulu para pengembara, saudagar ataupun suku nomaden yang melewati Jalur Sutra dan celah-celah pegunungan Himalaya, memanfaatkan sinar bulan untuk menerangi perjalanan mereka di malam hari. Akhirnya saya melanjutkan tidur kembali dengan ruangan yang diterangi rembesan cahaya bulan lewat kaca jendela. Pagi saat saya terbangun ternyata listrik masih belum menyala. Saya sempat menanyakan ke ibu pemilik guesthouse tentang hal tersebut, dia bilang memang ada jadwal pemadaman lampu setiap hari, tidak hanya malam tapi juga siang hari, dan mereka sudah terbiasa. Karenanya banyak yang sudah membekali rumah dan penginapanya dengan genset. Jadi bersiap-siaplah membawa senter. Dan saat listrik menyala, pergunakan sebaik-baiknya untuk mengecas batere kamera misalnya. Informasi yang saya terima, katanya mulai tahun ini krisis litrik di Leh akan mulai teratasi dengan perbaikan dan pembangunan gardu baru.
- Dijuluki ‘Tibet Kecil’
Berada di Ladakh berasa seperti bukan berada di India, karena nuansa Tibet lebih kental. Tidak bisa dipungkiri penduduk Ladakh memang mayoritas keturunan Tibet. Aksara bahasa Ladakhi memang sama dengan aksara Tibet, tapi mempunyai pengucapan dan arti yang berbeda dengan bahasa Tibet asli. Agama Budha dan Islam menjadi mayoritas di Leh. Suku Ladakhi yang berbeda asal keturunan dan kepercayaan hidup berdampingan sangat harmonis.
Di sudut kota Leh juga banyak terdapat Tibetan Refugee Market, dimana para pengungsi Tibet menjual bermacam-macam souvenir khas Tibet atapun Ladakh bagi para turis.
Â
[caption id="attachment_194468" align="aligncenter" width="300" caption="Leh Palace"]
Â
[caption id="attachment_194470" align="aligncenter" width="300" caption="Castle of Tsemo di atas bukit batu"]