Mohon tunggu...
Boby Hernawan
Boby Hernawan Mohon Tunggu... Diplomat - ordinary man

...sedang belajar kehidupan ...

Selanjutnya

Tutup

Money

Corporate Governance: Sekilas tentang Tunneling - Type 2 Agency Problem

31 Agustus 2013   11:25 Diperbarui: 4 April 2017   18:29 2982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep ‘separation of ownership and control’ dalam korporasi yang dipopulerkan oleh Jensen and Meckling (1976) sebagai titik awal berkembangnya dunia korporasi modern membawa konsekuensi terciptanya agency problem. Konsep tersebut menimbulkan konflik antara pemegang saham selaku pemilik perusahaan dan manajemen selaku pengendali yang bertanggung jawab atas kegiatan perusahaan sehari-hari, dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak. Pemegang saham lebih berorientasi kepada long-term value creation (melalui peningkatan nilai perusahaan dalam jangka panjang), sedangkan manajemen lebih berorientasi pada short-term horizon sesuai dengan masa kontrak selaku manajemen. Bentuk konflik bisa berupa penetapan kompensasi (bonus) dan pemakaian fasilitas perusahaan yang berlebihan oleh manajemen, maupun bentuk manfaat lainnya yang menguntungkan manajemen yang dibebankan ke perusahaan.

Konflik antara pemegang saham dan manajemen inilah yang sering disebut ‘Type 1 Agency Problem’. Asumsi yang mendasari type 1 agency problem adalah kepemilikan saham yang menyebar (widespread ownership) dimana pemegang saham jumlahnya banyak dan tersebar namun secara individual tidak ada yang terlalu signifikan. Dengan demikian para pemegang saham yang banyak dan tersebar tersebut harus secara bersama mendelegasikan hak pengendalian mereka atas perusahaan kepada pihak lain (yaitu manajemen) yang mempunyai kemampuan menjalankan perusahaan. Konsep agency problem ini dikembangkan dari “anglo-saxon” rezim, yaitu kondisi perusahaan-perusahaan yang umumnya ada di negara Amerika Serikat dan Inggris.

Namun demikian, berdasarkan perkembangan penelitian dan literatur terakhir, kondisi ideal penyebaran kepemilikan saham perusahaan (widespread ownership / widely held corporation) tidak banyak terjadi. Yang dominan terjadi adalah kepemilikan mayoritas oleh suatu pihak (biasanya keluarga) atas suatu perusahaan walaupun perusahaan tersebut telah menjadi perusahaan terbuka atau perusahaan publik. Kondisi kepemilikan oleh keluarga (family ownership / family business) memang dominan terjadi di negara-negara berkembang. Tetapi di Amerika Serikat dan Inggris sendiri, dimana konsep agency problem ini pertama kali dikembangkan, ternyata kondisi family ownership adalah mendominasi sampai 80-90% (Amerika Serikat) dan 75% (Inggris) dari total seluruh perusahaan yang ada (Astrachan and Shanker, 2003).

Kondisi concentration of ownership atau family ownership ini, sebagai kebalikan dari widespread ownership, mendorong terjadinya ‘Type 2 Agency Problem’. Type 2 agency problem mengacu kepada perbedaan kepentingan (konflik) antara controlling shareholder dan minority shareholders dalam suatu perusahaan. Dalam perusahaan terbuka atau perusahaan publik, controlling shareholder biasanya family/founder dari perusahaan, sedangkan masyarakat/publik biasanya sebagai minority shareholders.

Keberadaan controlling shareholder yang secara dominan mengendalikan jalannya perusahaan, bisa mengurangi type 1 agency problem dikarenakan manajemen juga “dikuasai” oleh controlling shareholder, sehingga perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajemen adalah minimal. Namun demikian, keberadaan type 2 agency problem ini berefek negatif kepada minority shareholders, yang kebanyakan adalah masyarakat umum.

Secara umum, type 2 agency problem biasanya dalam bentuk pengambilan manfaat (private benefits) oleh controlling shareholders yang merugikan kepentingan minority shareholders. Pengambilan keuntungan atau manfaat oleh controlling shareholder (expropriation) yang dibebankan pada minority shareholders sering dikenal dengan istilah ‘tunneling’.

Secara logika sederhana, ‘tunneling’ bisa diartikan sebagai terowongan atau jalan bawah tanah, dimana suatu pihak (controlling shareholder) akan mencari jalan untuk menyalurkan “sesuatu manfaat” tanpa diketahui atau disadari oleh pihak lain (minority shareholders). Oleh sebab itu, istilah tunneling dipakai dalam konteks pengambilan manfaat atau keuntungan dari perusahaan oleh controlling shareholder, yang merugikan kepentingan minority shareholders, biasanya terjadi pada perusahaan terbuka/publik. Tunneling bisa berupa berupa penyaluran cash flow, asset ataupun equity keluar dari perusahaan, ataupun kombinasinya.

Sebagai contoh cash flow tunneling misalnya pemberian kompensasi yang berlebihan kepada anggota keluarga yang juga duduk dalam manajemen, pemberian pinjaman kepada perusahaan afiliasi dengan syarat dan ketentuan istimewa, penjualan produk perusahaan di bawah harga pasar kepada perusahaan afiliasi yang juga dikuasai oleh controlling shareholder, ataupun sebaliknya pembelian bahan baku/input yang lebih mahal oleh perusahaan dari perusahaan afiliasi.

Asset tunneling biasanya berupa pengalihan asset perusahaan kepada perusahaan afialiasi yang dikuasai oleh controlling shareholder. Cashflow tunneling berefek langsung kepada cash flow statement perusahaan pada periode yang bersangkutan, sedangkan asset tunneling mempunyai efek jangka panjang dimana akan mengurangi kemampuan produktif perusahaan (kemampuan menghasilkan cash flow) akibat “dialirkannya” asset perusahaan kepada pihak lain.

Equity tunneling bisa berupa penawaran saham baru yang lebih murah kepada anggota keluarga ataupun membawa perusahaan terbuka kembali ke perusahaan tertutup (delisting). Equity tunneling memberi keuntungan bagi controlling shareholder di atas beban minority shareholders yang berakibat penurunan nilai saham perusahaan.

Apabila tunneling merupakan aksi oleh controlling shareholder yang berakibat negatif terhadap kepentingan minority shareholder, maka terdapat aksi oleh controlling shareholder yang berefek positif bagi minority shareholders dan perusahaan pada umumnya. Aksi kebalikan dari tunneling adalah ‘propping’, yang biasanya dilakukan oleh controlling shareholder untuk mensupport perusahaan dalam kesulitan keuangan/kebangkrutan.

Sebagai contoh propping adalah keluarga pendiri (founder) Samsung Group memberikan suntikan dana dari kekayaan pribadi kepada Samsung Motor Inc. untuk membayar hutang dan perusahaan lolos dari ancaman kebangkrutan. Tindakan ini menyelamatkan perusahaan dan sekaligus mempertahankan kepentingan minority shareholders.

Type 2 agency problem akan menjadi lebih parah apabila controlling shareholder mempunyai Control Right (CR) yang melebihi Cash Flow Right (CFR), atau dapat diartikan bahwa controlling shareholder mempunyai hak suara/voting (yang mencerminkan kekuatan kontrol) yang melebihi (tidak proporsional) dengan jumlah uang/investasi yang ditanamkan dalam perusahaan (diskusi detil tentang hal ini ada dalam artikel sebelumnya - 'Dua Makna Konsep Separation of Ownership and Control').  Lebih lanjut, kondisi expropriation atau tunneling biasanya ditunjang oleh lemahnya perlindungan hukum atas investor, lemahnya pengawasan ataupun lemahnya penegakan hukum (law enforcement).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun