Pada dasarnya, manusia adalah hamba sekaligus khalifah—wakil yang Allah berkenan untuknya. Peran khalifah ini mengandung dua jenis fungsi: ketuhanan (internal) dan tata tertib kosmos (eksternal). Apabila yang pertama bersifat menyeluruh, yang mendorong manusia untuk mereorientasikan komitmennya terhadap keunikan identitas ketuhanan; maka yang kedua, bersifat terbatas—yang mendorong manusia untuk berkreasi dalam menghadapi pelbagai persoalan rumit di dunia ini. Dalam jenis dan fungsi kekhalifahan yang kedua ini, Alquran secara khusus menempatkan Daud AS sebagai sosok yang Allah SWT berkenan untuk menunjuknya secara langsung—tidak sebagaimana lazimnya, ditempatkan atau dipilih secara tidak langsung oleh kekuasaan manusia.
Allah berfirman, “Hai Daud, sungguh Kami telah menjadikanmu—khalifah di muka bumi” [Shaad: 26]. Dari penggalan ayat tersebut—anugerah kepada Daud ini tidak sekadar pemberian, melainkan lebih sebagai suatu penghargaan. Jika pemberian menuntut adanya balasan atau imbalan, maka untuk penghargaan tidak.
Dalam hal lain—bersyukur misalnya, Allah menuntut kita dan begitu pula terhadap Daud AS. Jika kita harus bersyukur kepada Allah atas pemberian dan anugerah-Nya dan bersyukur adalah sebagai balasan kita untuk-Nya, maka dalam kasus Daud berbeda sebagaimana firman-Nya, “Hai, keluarga Daud—bekerjalah untuk bersyukur, karena sedikit sekali hamba-Ku yang tahu berterima kasih” [Saba’: 13].
Peran khalifah dalam kenabian Adam AS tidak ada penyebutan nama secara jelas, hanya tersirat. “Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’” [Al-Baqarah: 30]. Pun demikian dalam kasus Ibrahim Khalilullah AS, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam di antara manusia” (Al-Baqarah: 124]—bukan seorang khalifah. Artinya, peran kedua nabi ini lebih bersifat umum atau katakanlah beslit Tuhan itu sebagai ‘tahta’, namun tidak disertai piranti ‘kuasa’.
Lebih lanjut, dalam kasus Daud AS—selain ‘tahta’, Allah SWT dalam beslit-Nya berkenan untuk menyertakan pirantinya untuk melakukan penilaian (judgment; ﺤﻜﻢ), sebagaimana lanjutan ayat ke-26 surah Shaad, “Maka, putuskanlah (perkara) di antara manusia dengan benar—jangan mengikuti hawa nafsu, karena itu akan menyesatkanmu dari jalan Allah”.
Dalam hadis riwayat Bukhari, ada dua perilaku Nabi Daud AS sebagai kinerja par excellence—yaitu puasa dan tidurnya. Daud berpuasa sehari, berbuka sehari; ia tidur di pertengahan malam dan bangun di dua pertiganya, kemudian tidur di sepertiga malam yang terakhir dan bangun saat fajar tiba. Kalau malam dibagi dalam enam bagian, maka 3/6 malam—Daud mulai tidur; kemudian 4/6-nya bangun; dan 5/6-nya tidur lagi. Jadi dalam semalam ada dua kali tidur dan sekali bangun, serta bangun ketika terbit fajar.
Bismillah! Dalam kalender lunar, sekarang sudah masuk hari Rabu (Paing). Semoga menjadi tonggak yang baik untuk mulai kebaikan. Amin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H