Mohon tunggu...
Dwi Suyanto Tohir
Dwi Suyanto Tohir Mohon Tunggu... -

Seorang yang sedang melintas. Mungkin jejaknya kan membekas atau bahkan memberikan warna.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karakter dan Karisma

4 Mei 2011   07:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:05 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagian orang percaya bahwa hanya dengan karakterlah, orang bisa bertahan di puncak; sementara karisma hanya kuasa untuk mengantarkannya ke sana. Mayoritas orang lebih acuh pada yang terakhir, lebih cepat dan mudah; dan sedikit yang peduli pada yang pertama, meski semua tahu kalau karakter lebih tahan lama. Bahkan konon karakter melampaui ilmu; jikalau ilmu adalah kekuatan, karakter lebih dari itu. Seperti dongeng Albert Camus dengan “closed-universe”—nya yang mendedahkan tentang bagaimana meraih ilmu, lantas dengan modal tersebut  kuasa digenggamnya.

Ada pribadi-pribadi yang bisa menghimpun keduanya dalam sosok-sosok unggul yang mumpuni. Setidaknya tiga patron yang patut diteladani dalam konteks ini, ketiganya seorang presiden: Anwar Sadat, JFK dan Gus Dur.

Sadat misalnya, menuliskan pencariannya dalam buku otobiografi yang berjudul “In Search of Identity”—sebuah buku menarik yang menggambarkan sosoknya sebagai ulet dan rajin (sebagaimana sosok FDR seperti gambaran ayah FDR). Meski belakangan gambaran itu dibantah oleh Mohamed Haekal dalam buku “Autumn of Fury” dengan tebal yang hampir sama, dengan gambaran yang sebaliknya: pemalas, suka bersandar pada pimpinannya (Gamal Abdel Nasser), dan terkadang tidak jujur.

Sementara JFK menuliskan buku menarik justru ketika ia tengah berbaring di rumah sakit, yakni “Profiles in Courage” yang mengisahkan sosok politikus yang berani dan berintegritas menonjol dalam sejarah negaranya.

Gus Dur, kita tahu hampir semua tulisan, ucapan dan perilakunya menyiratkan proses pembentukan karakter sebagaimana pendahulunya—Bung Karno, meski ada sedikit pergeseran. Jika dahulu lebih ditekankan pembentukan karakter bangsa, kini Gus Dur lebih acuh pada pembentukan karakter manusia konkret. Salah satu ‘korban’ dari sentilannya ketika Gus Dur masih menjabat sebagai Presiden adalah salah seorang menteri dalam kabinetnya, yakni Yusril Ihza Mahendra yang disebutnya sebagai sosok yang tengah gamang—‘in search of identity’ alias sedang mencari jati diri.

Sekedar catatan, ketiga terjemahan dari buku-buku yang disebut di atas, ada dalam rak perpustakaan penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun