Freeport Jika dilihat dari sejarah masuknya Freeport ke tanah Papua, ceritanya bisa dimulai dengan tanah yang menghasilkan berton-ton emas gan. Jadi dahulu kala, berkembang kepercayaan di tengah masyarakat Papua, bahwa ada mitologi menyangkut manusia sejati, yang berasal dari seorang Ibu, yang setelah kematiannya berubah menjadi tanah yang membentang sepanjang daerah Amungsal (Tanah Amugme, yang merupakan suku asli daerah Amungsal), daerah ini dianggap keramat oleh masyarakat setempat, sehingga secara adat tidak diizinkan untuk dimasuki.
Sejak tahun 1971, Freeport Indonesia, masuk ke daerah Amungsal, tanah keramat ini, dan membuka tambang Erstberg. Sejak saat itulah warga suku Amugme disingkirkan ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
PT. Freeport Indonesia sendiri adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg.
Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar (tapi menurut agan gimana? pasti agan kebih percaya kan kalo sebagian besar keuntungannya lari keluar dan masuk ke kantong oknum2 korup di pemeintahan RI!).
Mining International, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia (coba bayangin gan kalo tabang ini punya Indonesia, pasti kita udah menjadi salah satu negara terkaya cadangan emasnya si dunia).
WALHI mengeluarkan laporan yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran terkini mengenai dampak operasi dan kerusakan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia. Hingga saat ini sulit sekali bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jelas dan menyeluruh mengenai dampak kegiatan pertambangan skala besar di Indonesia. Linknya disini gan: LAPORAN DAMPAK OPERASI PT. FREEPORT-RIO TINTO, PUBLIKASI ULANG RISET WALHI 2006
Dan nama Alkinemokiye sendiri diadopsi dari bahasa asli suku Amungme yang berarti ‘usaha keras demi kehidupan yg lebih baik’ (From Struggle Dawns New Hope). Amungme merupakan suku terbesar di Timika, Papua. Beberapa bagian dalam Film Alkinemokiye juga diperkaya dengan sejumlah gambar dan rekaman amatir dari pekerja PT Freeport sendiri. Beberapa fakta yang menarik dan patut untuk dipertanyakan dalam film Alkinemokiye:
- Pada tanggal 15 September 2011, 8.000 dari 22.000 pekerja Freeport Indonesia melakukan aksi mogok menuntut kenaikan upah dari US $3,5/jam sampai US $7,5/jam. Inilah pemogokan kerja terlama dan paling banyak melibatkan karyawan sejak Freeport mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 1967.
- Dua tahun sekitar bulan Juli 2009 - November 2011, setidaknya 11 karyawan Freeport dan sub-kontraktor ditembak mati secara misterius oleh para penembak gelap.
- PT Freeport McMoRan telah mengeluarkan dana sebesar Rp 711 milyar untuk “uang keamanan” yang diberikan kepada para aparat pemerintah Indonesia Dalam 10 tahun terakhir.
Disini link artikel sumbernya gan: http://hiburan.kompasiana.com/film/2012/11/19/film-kekejian-freeport-dicekal-screen-below-the-wind-festival-510209.html
Film ini memang sarat dengan informasi yang memilukan. Sepanjang satu jam penonton akan disuguhkan kisah tentang sebuah tambang emas terbesar di dunia namun karyawannya sendiri tidak hidup sejahtera: tinggal di rumah berdinding papan kayu dengan jendela tanpa kaca.
Tidak heran jika warga di sekitar perusahaan tersebut masih ada yang kelaparan dan kesulitan BBM, bahkan pensiunan karyawannya hanya diberi janji-janji palsu. 15 tahun mereka melawan lewat pengadilan hanya untuk mendapatkan kenyataan surat pensiun mereka tidak bisa digunakan untuk mengklaim uang pensiun. Sementara beberapa pensiunan lainnya yang terlebih dahulu pasrah dengan nasib mereka telah menggadaikan rumah untuk dijadikan modal usaha: sebuah warung rokok kecil.
Informasi-informasi yang dimuat dalam film “Alkinemokiye” memang ‘panas’. Ditambah lagi dengan beberapa adegan kekerasan: konflik bersenjata antara Polisi vs warga Papua, penembakan mobil-mobil sipil yang melintas, hingga acara deklarasi kemerdekaan rakyat Papua; tentu semua itu sudah cukup jadi alasan bagi polisi untuk melarang penayangan film ini; itu belum ditambah kemungkinan adanya instruksi dari beberapa pihak yang merasa ‘gerah’ jika film ini sampai menyebar ke masyarakat luas.
H-1 panitia masih belum mendapatkan ijin pemutaran film “Alkinemokiye” dari pihak-pihak yang berwenang; “itu film haram,” kata mereka. Tidak ingin rangkaian acara se-Asia Tenggara ini batal hanya karena satu film, panitia Screen Below The Wind Festival memutuskan membatalkan pemutaran film “Alkinemokiye” dan diganti dengan acara seminar/diskusi dengan sutradaranya: Dandhy Dwi Laksono. Tapi ternyata polisi tetap datang ke lokasi acara dengan alasan mendapat informasi bahwa film yang tidak diijinkan tersebut tetap diputar.
Padahal tidak. Film-film yang diputar sejak jam 9 pagi adalah film dokumenter lain. Polisi mengira acara Screen Below The Wind Festival adalah acara khusus tentang konflik di Papua, dan didedikasikan khusus untuk pemutaran film “Alkinemokiye”. Polisi terus berjaga dan mengawasi jalannya acara hingga satu jam setelah acara terakhir selesai. Baru setelah matahari tenggelam, para polisi itu tidak kelihatan lagi batang hidungnya.
Lucunya adalah, kehadiran polisi tersebut justru membuat orang-orang semakin penasaran. Beruntung Dandhy Dwi Laksono sudah menguploadnya ke youtube sehingga film tersebut bisa disaksikan masyarakat luas secara mudah. Semangat dari Screen Below The Wind Festival adalah kebebasan berekspresi; utamanya bagi para penduduk di Asia Tenggara. Acara ini memiliki cita-cita menjadikan dokumenter sebagai senjata yang ampuh untuk menceritakan informasi kepada publik. Dan atas bantuan promosi dari polisi, saya rasa tujuan tersebut sudah tercapai.
Tidak heran jika di akhir acara Screen Below The Wind, film ”Alkinemokiye” berhasil meraih predikat film dokumenter favorit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H