Mohon tunggu...
Itok Aman
Itok Aman Mohon Tunggu... -

Pemuda yang mencintai komedi dan dunia petualangan. Facebook: Itok Aman -- Instagram: @bob_kristo23 -- Youtube: Bob Itok -- Twitter: @bob_itok

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pemilu Bukan 'Pemilu'

10 Februari 2019   23:38 Diperbarui: 11 Februari 2019   09:10 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: geotimes.co.id)

Seperti apakah politik di mata kita - masyarakat yang aktif sebagai pengguna media sosial, menonton berita dan talk show juga perdebatan para politikus di televisi? Apakah kita pernah membaca atau mengenang kembali jejak-jejak perjalanan politik para tokoh ini? Pernahkah kita memikirkan hal-hal sederhana lewat perjalanan mereka agar bisa dijadikan sebagai referensi yang reflektif dalam kehidupan kita bermasyarakat yang demokratis dan damai?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana di atas, mari kita lihat secara sederhana bagaimana pergerakan-pergerakan para tokoh politik yang berseteru lewat perdebatan-perdebatan hangat yang memancing emosional (kita) masyarakat yang mereka pertontonkan lewat media selama ini.
Prabowo itu dulunya CAWAPRES pasangan Megawati pada pilpres 2009. Fadli Zon itu juru kampanye Jokowi dan Ahok dengan baju kotak-kotaknya di pilgub DKI 2012. Anies Baswedan itu tim sukses Jokowi-JK juga mantan Menteri Pendidikan. Sebelumnya Anies juga peserta CAPRES versi konvensi Partai Demokrat. Sekarang lengket sama Prabowo dan PKS. Padahal dulu Anies berkali-kali dituding syiah oleh PKS.
SBY itu mantan Menterinya Megawati. Maju CAPRES duet JK didukung Surya Paloh.PILPRES berikutnya giliran JK maju sebagai CAPRES duet Wiranto melawan SBY dan Boediono yg didukung Aburizal Bakrie. Lalu ke mana Aburizal Bakrie? Sekarang berteman sama Prabowo yang dulu kompetitornya di PILPRES 2009 dan lucunya teman dengan Rachmawati yang notabene musuh besar pengusaha dan para militer.
Masih ingat Amien Rais? Ini lebih unik lagi. Menggulingkan Gus Dur sehingga Megawati naik sebagai presiden padahal sebelumnya paling tidak sudi Megawati jadi Presiden. Dia berusaha keras agar Gus Dur jadi Presiden.
PILPRES berikutnya dengan jargon guru dan anak petani melawan SBY dan Prabowo di PILPRES 2004 dan 2009. Sekarang Amien Rais akrab dengan Prabowo di kubu oposisi. Padahal zaman '98 Amien Rais ini target Letnan Jenderal Prabowo untuk diamankan.
Bagaimana dengan PKS? Semua juga sudah tahu ceritanya. Para kader gila-gilaan black campaign menjatuhkan Prabowo di pilpres 2009 dan pilkada DKI 2012. Lalu sekarang? Berteman akrab sama Gerindra yang selama zaman SBY adalah musuh bebuyutan. Waktu itu PDIP dan Gerindra oposisi, sementara PKS masuk koalisi di satuan gabungan SBY.
Yusuf Kalla berkata di media TV tidak setuju dengan Jokowi bila jadi presiden dan berkata bisa hancur negeri ini kalau dipimpin oleh Jokowi, tetapi sekarang? Anda pun tahu posisi jabatannya sekarang. Wakil Presiden, Gaessss...!
Ali muchtar Ngabalin dulu paling berkoar membanggakan Prabowo dan menggilas abis Jokowi dan para pendukungnya. Tapi sekarang jadi staf ahli kepresiden Jokowi.
Siapa lagi ya?Hmm... Sedikit keluar konteks politik.Ahmad Dhani. Dulu geger dengan FPI karena masalah lambang agama di cover albumnya, lalu bikin lagu "laskar cinta" untuk menyindir FPI. Dan sekarang? Anda juga tahu pergerakannya.
Jadi jangan kaget kalau saja, mana tahu, besok-besok Bang Jonru jadi pembela Pak Jokowi. Denny Siregar jadi pembela Pak Prabowo. Nothing is Impossible! Makanya hukum bermain politik itu "if you know the rule of the game, just enjoy playing the game."
Karena dalam alam politik tidak ada kawan sejati, atau musuh abadi. Yang ada cuma kepentingan abadi.
Mari kita yang rakyat biasa ini ingat selalu bahwa politik itu permainan yang dinamis. Maka jangan korbankan kawan, sahabat, saudara hanya karena berbeda pilihan politik. Ambil sikap yang wajar-wajar sajalah.
Serta yang paling penting, jangan libatkan anak-anak kita dalam urusan pilihan politik.Para kawula dewasa silakan berdebat hebat dengan segala teori tapi biarkan anak-anak itu tumbuh dengan dunianya. Dunia bermain dan bergembira tanpa peduli latar belakang suku, agama, ras dan antar golongan serta pilihan pilkada atau PILPRES bapak ibunya.
Ayolah, Saudaraku.Jangan wariskan generasi pendendam. Jaga sedikit adab bicara ketika mau berkomentar. Siapapun kita ataupun mereka tidak ada yang tahu siapa yang lebih mulia, andai kita tidak suka tetaplah berkomentar dengan sopan, jangan gunakan kata 'anjing, babi, cebong, kampret' dan kata sesat lainnya, bukan apa-apa yang saya takutkan jika kita meninggal dalam keadaan lupa akan meminta maaf kepada orang yang telah kita maki dan kita hujat, jadi jangan jadikan diri kita korban sebagai orang yang merugi di dunia.
Karena berbeda pendapat itu wajar dalam alam demokrasi, yang jadi masalah ketika memaksakan kehendak kita dan menjelek-jelekkan yang lain. Ini yang salah.
Intinya siap kalah dan menang tanpa harus menghujat siapapun apalagi hanya sesama rakyat biasa. Karena dalam tubuh ini ada yang paling peka dan berpengaruh yaitu hati. Jagalah hati masing-masing dan jangan biarkan ia retak.
Ada masyarakat yang paham soal ini hingga politik yang hakikatnya mulia mereka setarakan dengan kebohongan dan tipu muslihat. Ada yang tidak paham soal ini hingga ikut arus 'peperangan' politik dan menafsirnya secara murni. Lawan ya lawan, sama halnya dalam perang. Dasarnya tentu saja dibangun dengan curiga dan permusuhan. 
Masih mau seperti itu? Sudah banyak orang yang mencoba mencairkan kebekuan pertikaian politis masyarakat yang kian mengeras dan membeku-membatu. Sayangnya, mereka bisa jadi belum sampai pada ulasan yang sederhana ini. Sebelum kita menentukan pilihan dan memperdebatkan siapa tokoh yang layak jadi pemimpin, selayaknya kita (sebagai masyarakat awam dalam politik) perlu membuka semua 'hubungan gelap' pada dunia perpolitikan Indonesia yang penuh mafia (yang sebenarnya memang hakikatnya eviden dan visibel).
Benar adanya bahwa politik bukan lagi sebagai sebuah seni yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan namun juga (mungkin saja) dibentuk dalam rangkai kepentingan (para elit) tentunya. Yang membuat mereka terhubung secara otomatis dan ramah adalah kepentingan. Saya pikir tak perlu dijelaskan panjang-lebar lagi.  Tulisan ini sudah sangat sederhana, mudah ditafsirkan sebagai bahan refleksi yang positif.
Sebagian besar masyarakat sudah jadi korban demokrasi lewat pemilu, juga dirugikan dengan masalah yang sebenarnya hampir luput dari pemahaman kita sendiri.
Jadi, kalau tahun politik berlangsung, kita cukup mengamat-amati saja. Tentukan pilihan dengan hati nurani tanpa harus terlalu jauh memperdebatkan dengan saudara-saudara kita agar tidak menimbulkan perpecahan. Berpendapat seperlunya, berargumentasi sewajarnya. Yang paling penting menjaga keutuhan persaudaraan yang solider. Dan, menjadi masyarakat yang cerdas.
Jangan terlalu banyak berdebat soal politik. Masa mau dipermainkan para mafia. Saya pikir urus babi dan kambing di kandang, kerbau di sawah,  dan bersihkan gulma tanaman lebih penting. Eh, jauh lebih penting maksudnya.

Sebab PEMILU (PEMILIHAN UMUM) adalah bentuk nyata dalam sikap demokratis yang dilakukan secara LUBER, bukan pemilu (yang menciptakan pilu oleh sikap-sikap politik yang berlebihan sehingga menimbulkan perpecahan di antara masyarakat).

Salam sadar, kritis, dan cerdas. Selamatkan diri kita, tetangga, sahabat, keluarga, kenalan dan orang-orang terdekat lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun