Bunuh diri menjadi trending topic yang mengerikan dalam setiap perbincangan pada kehidupan sosial kita. Bunuh diri adalah sebuah tindakan sengaja yang menyebabkan kematian diri sendiri. Bunuh diri seringkali dilakukan akibat putus asa, yang penyebabnya seringkali dikaitkan dengan gangguan jiwa misalnya depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, ketergantungan alkohol/alkoholisme, atau penyalahgunaan obat. Dengan berbagai macam cara, seseorang nekad menumpas kehidupannya sendiri. Ada yang dengan membakar diri, ada yang dengan menggantung diri, ada pula dengan yang menenggak racun, juga ada yang membuang diri ke jurang, ataupun dengan berbagai macam cara yang lainnya agar bisa dengan sengaja mengakhiri perjalanan hidupnya sendiri. Faktor genetika pun bisa memicu bunuh diri. Menurut laporan World Health Organization (WHO), sebuah organisasi kesehatan dunia, sekitar lebih dari satu juta orang melakukan bunuh diri setiap tahunnya di seluruh dunia. Bahkan menurut laporan tersebut, jumlah korban bunuh diri lebih tinggi dari jumlah korban perang ataupun konflik-konflik lainnya. Kebanyakan bunuh diri, atau lebih dari 78%, terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan Frank Westerhoff, seorang profesor dari University of Bamberg, menunjukkan, dalam setiap 40 detik, ada orang yang bunuh diri di berbagai tempat di dunia ini. Setiap 3 detik, ada orang yang mencoba melakukan bunuh diri. (Westerhoff, 2009). Fakta di atas hendak menunjukkan bahwa, kita cendrung gagal dalam mengolah kehidupan, pasrah pada keadaan dan mengambil jalan pendek untuk menghabisi nyawa.
Bunuh Diri dalam Sorotan Filsafat
Filsuf Jerman, Immanuel Kant, juga mencoba mempertimbangkan hal ini. Ia merumuskan suatu prinsip yang dikenal sebagai prinsip imperatif kategoris; “Bertindaklah sesuai dengan motivasi tindakan yang bisa diterapkan sebagai hukum universal”. Prinsip Kant hendak menunjukkan bahwa, kita diajak melakukan tindakan yang motivasinya bisa disetujui oleh semua orang. Dalam konteks imperatif kategoris Kant, tindakan bunuh diri tidak dapat dibenarkan. Kant menegaskan, bahwa bunuh diri adalah sebuah tindakan pelanggaran hak dan kewajiban orang terhadap dirinya sendiri.
Filsuf idealisme Jerman lainnya, Johann Gottlieb Fichte, memiliki pandangan yang berbeda dengan Kant. Di dalam bukunya yang berjudul das System der Sittenlehre (1798), Fichte menegaskan bahwa orang membutuhkan keberanian besar untuk mengakhiri hidupnya. Namun, dibutuhkan keberanian yang lebih besar lagi untuk menjalani hidup dengan segala jatuh bangunnya.
Fichte menyodorkan sebuah model kehidupan yang menekankan pada ‘nyali’ yang lebih besar untuk mendobrak setiap soal yang dihadapi dalam kehidupan. Fichte sebetulnya memberikan pilihan untuk mematahkan kecendrungan bunuh diri sebagai tindakan pengecut dan menawarkan keberanian yang besar untuk bertahan dalam badai persoalan hidup yang sedang dihadapi.
Siapakah yang Mengambil Peran?
Semakin maraknya kasus bunuh diri di Indonesia, mengajak kita untuk kembali bertanya pada diri kita masing-masing sebagai bentuk refleksi diri; Siapakah yang bertanggung jawab dalam persoalan ini? Penulis coba menyodorkan beberapa poin penting yang setidaknya bisa membantu dalam mengurangi kasus bunuh diri di Indonesia.
Pertama, Peran Keluarga dan Lingkungan Hidup. Keluarga merupakan pusat dari semua kegiatan setiap orang. Konflik interpersonal, hubungan yang terganggu dan kehidupan yang tidak harmonis merupakan faktor pencetus yang determinan dalam tindakan bunuh diri. Faktor genetika juga bias memicu terjadinya bunuh diri. Livia Iskandar, seorang psikolog, mengatakan riwayat bunuh diri dalam keluarga dapat membuat anggota keluarga tersebut menjadi lebih rentan melakukan hal yang sama. Ketika lingkungan terdekat seperti keluarga dan teman tidak peduli akan stres yang dirasakan seseorang, maka dapat membuat dia kehilangan harapan.
Oleh sebab itu, keluarga seharusnya mampu mengambil peran yang efektif dengan berbagai cara, misalnya; mengidentifikasi tanda-tanda dari stres dan kecenderungan bunuh diri, membina hubungan yang erat dengan pelaku, penuh perhatian, mendengarkan, menghargai perasaan serta memahami emosinya. Apakah kita berpikir untuk tetap berusaha membunuh diri? Bukankah manusia adalah satu-satunya makhluk yang berakal budi?