Mohon tunggu...
Bobby Triadi
Bobby Triadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis sambil tersenyum

Lahir di Medan, berkecimpung di dunia jurnalistik sejak tahun 1998 dan terakhir di TEMPO untuk wilayah Riau hingga Desember 2007.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Menjilati Jalan" Demokrasi yang Akan Dilalui Sang Demokrat

22 Desember 2014   10:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:44 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana untuk mendudukkan kembali Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat 2015-2019 melalui langkah aklamasi untuk yang kedua kalinya terus bergulir. Pertama, saat langkah bersih-bersih di KLB Bali dan yang kedua masih sebatas rencana untuk kembali menyukseskan keberhasilan aklamasi yang pertama. Aklamasi yang menjadi tren berikutnya dicontoh oleh partai-partai lain. Dalam hal tersebut, Partai Demokrat berhasil mengingatkan partai-partai lain bahwa selain demokrasi dengan pemungutan suara yang selama ini sudah menjadi budaya dalam kontestasi demokrasi masih ada demokrasi dengan aklamasi yang selama ini sudah dicuekin. Selama itu berjalan sesuai dengan kontitusi partai, tidak melanggar dan tidak dengan paksaan yang berujung ancaman, demokrasi dengan cara aklamasi tentu sah-sah saja.

Jalan aklamasi SBY di Kongres Luar Biasa (KLB) PD di Bali tahun lalu menuju kursi Ketua Umum menyisakan cerita kelam dari sebahagian kader yang tidak beruntung. Bagai sedang memecahkan rekor, surat-surat penggeseran tugas atau pemecatan sebagai Ketua DPD dan DPC dengan istilah “di-Plt-kan” bertebaran menjelang KLB dan sesudahnya untuk mereka para “pembangkang”. Apa mereka salah untuk tidak satu suara dengan pengurus pusat dalam menentukan siapa yang berhak menjadi Ketua Umum?

Sekelumit kisah kelam itu pula yang menjadi momok menakutkan bagi kader-kader menjelang Kongres Partai Demokrat yang ke-3 beberapa bulan mendatang. Instruksi-instruksi yang datang dari pengurus pusat, ibarat instruksi yang datang dari sosok hantu yang kehadirannya tak diharapkan dan menakutkan. Apakah ada yang berani mengungkapkannya ke publik? Tentu sebahagian besar tidak berani, berani melawan kehendak tentu berbuah sanksi. Sebahagian kecil yang melawan tentu mereka-mereka yang memiliki pendirian kokoh sebagai seorang organisator yang tak terima ada kesewenang-wenangan dari pemegang mandat kekuasaan organisasi. Apalagi saat ini Kolusi dan Nepotisme tumbuh subur di Partai Demokrat. Bapak, anak, ipar, sepupu semuanya kini didudukkan pada posisi penting dan pengendali baik di kepengurusan DPP hingga di legislatif.

Lalu apakah SBY layak menjadi Ketua Umum? Tentu layak-layak saja bila dilihat dari sisi pojok prestasi SBY untuk Partai Demokrat. Tanpa sosok SBY yang begitu membius di tahun 2004, tentu Partai Demokrat tidak ada apa-apanya. Begitu pula pada Pemilu tahun 2009, Partai Demokrat berhasil meraih suara kemenangan 20,8%. Kemenangan 2009 tentu tidak dapat disebut atas prestasi SBY sepihak, ada mesin-mesin partai di sana yang turut berperan besar atas kemenangan mutlak tersebut. Jangan lupakan sejarah untuk tumbuh menjadi besar. Jangan congkak hati dan besar kepala atas prestasi bersama. Pada Pemilu 2014, SBY berhasil menaikkan perolehan suara dari yang awalnya atas dasar survei hanya menduduki posisi 8,5% hingga memperoleh 10% pada hasil pemungutan suara nasional dari target awalnya 15%. Bahkan prestasi terbesar SBY adalah berhasil menyelamatkan Partai Demokrat dengan memanfaatkan wewenang besarnya sebagai presiden untuk menerbitkan Perppu Pilkada Langsung, setelah partainya dipermalukan atas aksi walkout para legislatornya di DPR-RI dengan tagar #ShameOnYouSBY. Hasilnya, dikerahkanlah tagar #TerimaKasihSBY di penghujung jabatannya sebagai presiden RI, meski tak begitu disambut meriah dengan kesungguhan.

Pertanyaannya, apakah Partai Demokrat ingin terus menerus memajang wajah SBY di etalase politik nasional yang terus menjalani perkembangan? Atau memang ada kader-kader yang tidak puas-puasnya menjilati SBY meski kulit SBY sudah mengkilat bersih? Atau mungkin SBY masih belum puas atas posisi puncaknya di NKRI sebagai presiden selama 10 tahun hingga masih harus tak rela melepas kekuasaannya di partai yang pernah mendudukkannya sebagai orang nomor satu di Indonesia?

Sebahagian kader mengatakan SBY harus kembali memimpin partai dengan alasan sebagai pemersatu. SBY dikatakan berhasil mempersatukan kader-kader Partai Demokrat di masa kepemimpinannya. Alasan itu mungkin saja benar, tapi tidak seratus persen benar. Yang pasti benar adalah tak ada kader partai yang berani terang-terangan berseberangan dengan kebijakan SBY. Alasannya tentu semua sudah tahu, “di-plt-kan” untuk yang menjabat sebagai pimpinan partai di daerah, di PAW bagi yang duduk di legislatif dan disingkirkan dari kepengurusan partai. Apakah SBY seorang demokrat? Ya, buktinya tangan SBY tidak ternoda untuk sekedar membubuhkan tanda tangan pemberian sanksi. Selalu ada yang bersedia mengotori tangannya untuk menyelamatkan SBY agar tetap menjadi Sang Demokrat yang tak pernah mencederai demokrasi.

Setelah sukses mendudukkan SBY dengan cara demokrasi aklamasi di KLB Bali dengan cara-cara lucu. Kini permainan politik lucu yang sama kembali dipraktekkan menjelang Kongres Demokrat 2015 mendatang. Kembali jauh-jauh hari wacana dukungan untuk SBY kembali terpilih secara aklamasi terus dihembuskan oleh aktor-aktor yang sama minus Jero Wacik. Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan, Ruhut Sitompul, Ramadhan Pohan, Nurhayati Assegaf dan anaknya sendiri Edhie Baskoro Yudhoyono yang juga Sekjen Partai Demokrat meyakini dan memastikan SBY akan kembali terpilih secara aklamasi. Benarkah surat yang dikatakan sebagai dukungan itu datang dengan tanpa ada tekanan atau sanksi? Itu yang pertama saya katakan sebagai momok yang menakutkan, instruksi yang kedatangannya tidak diharapkan dan menakutkan. Harus mendukung atau digeser.

SBY memang harus terpilih kembali dengan jalan aklamasi atau tak ikut berkompetisi sama sekali bila masih ada duri-duri yang tak mendukungnya untuk kembali menjadi Ketua Umum. SBY harus terpilih kembali dengan jalan aklamasi tanpa ada kader yang berani berkompetisi melawan dirinya di dalam kongres. Tentu SBY tidak mau malu bila nanti ternyata di dalam kompetisi kemenangannya tidak mutlak dalam pemungutan suara. Bagaimanapun SBY telah digadang-gadang sebagai pemegang kekuasaan mutlak di Partai Demokrat. Masak pemegang kekuasaan mutlak di partai tak menang dengan perolehan suara mutlak. Malu dong.

Untuk itu pula, jalan SBY menuju arena kompetisi di Kongres Partai Demokrat 2015 harus bersih dari ranjau paku. Karena itu pula aklamasi yang sudah digembar-gembor sejak jauh-jauh hari disebut sebagai upaya pembersihan, “Menjilati Jalan” yang akan dilalui Sang Demokrat agar tak tergelincir dan jatuh karena malu. Bila konflik di internal masih ada perlawanan, apakah itu yang dikatakan keberhasilan SBY sebagai pemersatu di Partai Demokrat? Jangan mentang-mentang. Perlawanan pasti akan hadir tidak sekarang, tapi pasti akan hadir setelah tiba pada waktunya. Salam!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun