Mohon tunggu...
Bobby Triadi
Bobby Triadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis sambil tersenyum

Lahir di Medan, berkecimpung di dunia jurnalistik sejak tahun 1998 dan terakhir di TEMPO untuk wilayah Riau hingga Desember 2007.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Gurita Nepotisme Cikeas

27 April 2015   14:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:38 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Awalnya tulisan ini ingin saya beri judul "Mendinastikan Partai". Tapi niat itu urung saya lakukan. Tiba-tiba, saya teringat dengan buku berjudul "Gurita Cikeas" yang ditulis oleh George Junus Aditjondro. Setelah membaca ulang, rasanya memang lebih cocok jika diberi judul "Gurita Nepotisme Cikeas".

Pasca Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat 2013-2015 melalui Kongres Luar Biasa yang berlangsung tak "menarik" dalam hal sebuah kontestasi politik, aroma nepotisme begitu semerbak tercium. Terlebih ketika Edhie Baskoro Yudhoyono (IBAS) tetap dipertahankan menjadi Sekretaris Jendral mendampingi bapak kandungnya dalam menjalani roda partai berlambang bintang mercy itu. Begitu pula dengan beberapa kerabat dekat SBY yang mengisi posisi-posisi penting dan strategis di DPP Partai Demokrat. Tak cukup sampai disitu, pasca pelantikan legislatif 2014-2019, posisi-posisi penting di Fraksi Demokrat DPR RI dikuasakan kepada kerabat-kerabat dan orang-orang terdekatnya. Bahkan Ibas diberi mandat untuk memimpin fraksi.

Kekuasaan SBY semakin lengkap ketika didaulat sebagai Ketua Umum dan Ketua Majelis Tinggi. Wewenang Ketua Umum yang sangat kecil berada di bawah bayang-bayang kekuasaan besar Majelis Tinggi ketika dijabat oleh Anas Urbaningrum, tentu tak dirasakan oleh SBY. Pas, komplit dan kokoh. Dengan demikian, tak ada yang dapat melawan keputusan yang dikeluarkan oleh SBY. Kesempatan cemerlang ini lalu dimanfaatkan dengan apik oleh orang-orang yang berada di dalam lingkaran SBY.

Mengkudeta DCT, Mengkristalkan Nepotisme

Jika saja publik jeli membaca arah gerakan politik, tentu publik dapat memahami rentetan peristiwa-peristiwa yang saling mengikat hingga berujung KLB. Jika publik dapat memahami rentetan peristiwa-peristiwa politik di internal Partai Demokrat, tentu publik tidak ikut-ikutan menge-judge Anas Urbaningrum sebagai koruptor.

Dimulai dari tertangkaptangannya karyawan M. Nazaruddin hingga menyeretnya sebagai tersangka dugaan korupsi Proyek Pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring, Palembang. Nama Ibas dan beberapa orang di lingkaran Cikeas awalnya begitu rutin terdengar nyaring keluar dari nyanyian Nazar, namun seketika hilang ketika tiba-tiba Nazar beralih menyeret nama Anas Urbaningrum.

Sampai pada waktunya pendaftaran Daftar Calon Sementara legislatif mendekati deadline, muncullah hasil survei "abal-abal" yang menunjukkan elektabilitas Partai Demokrat mencapai titik yang mengkhawatirkan. Dan disebutkan pula bahwa penyebabnya adalah Anas Urbaningrum. Survei yang tak jelas secara standar survei pada lazimnya.

Heboh politik dan intrik internal memaksa SBY untuk mengultimatum Komisi Pemberantas Korupsi untuk segera memperjelas status hukum Anas Urbaningrum. Hasil percepatannya adalah peristiwa pembocoran draft Sprindik atas nama Anas Urbaningrum yang diduga untuk memancing reaksi kehebohan publik. Hingga cukup alasan bagi KPK untuk menetapkan status Anas Urbaningrum sebagai tersangka dengan dalih desakan publik yang begitu besar. Cara ini telah diakui oleh Abraham Samad. Sesuai Pakta Integritas yang telah ditandatangi, sehari kemudian Anas Urbaningrum menyatakan berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

DCS harus segera didaftarkan. Tanda tangan Ketua Umum menjadi syarat mutlak, KLB harus segera digelar untuk memilih Ketua Umum baru menggantikan Anas. SBY terpilih dengan jalan demokrasi aklamasi melalui drama-drama yang begitu heroik. Tentu ada yang begitu bahagia atas kemenangan itu. Anas Urbaningrum berhasil dilengserkan.

Menjelang Pemilihan Legislatif, ketika Daftar Calon Tetap telah diumumkan, nasib malang menghampiri pimpinan-pimpinan Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Jawa Tengah yang sebelumnya unjuk tangan mendukung SBY terpilih aklamasi sebagai Ketua Umum pada KLB Bali. Tanpa pemberitahuan, hak mereka dikebiri, dipecat sebagai ketua dan digantikan. Kerabat-kerabat Agus Hermanto (Adik Hadi Utomo, adik ipar Ani Yudhoyono), Sukawi Sutarip (Ketua DPD PD Jawa Tengah) dan Ani Yudhoyono pun berhasil diposisikan di tiap-tiap DPC. Inilah daftar kerabat Agus dan Sukawi yang berhasil saya himpun:


  1. DPC Kabupaten Batang, Mochamad Rochim digantikan dengan Plt. Ferry Firmawan (Keponakan Agus Hermanto).
  2. DPC Kabupaten Semarang, Wibowo Agung Sanyoto digantikan dengan Plt. Danang Djoko Haridjanto (Keponakan Agus Hermanto).
  3. DPC Kota Salatiga, Iwan Setyo Purbowo digantikan dengan Plt. Fadlin Lubis (Staf Agus Hermanto).
  4. DPC Kab. Kudus, Wahyudi (Adik Ipar Agus Hermanto).
  5. DPC Kab. Wonogiri, Tety Indarti (Keponakan Agus Hermanto).
  6. DPC Kab. Purworejo, R. M. Abdullah digantikan dengan Plt. Yophi Prabowo (Adik Ipar Ani Yudhoyono).
  7. DPC. Kab. Kebumen, KH. M. Nashiruddin Al Mansyur digantikan dengan Plt. Yoyok Sukawi ( Anak Sukawi).
  8. DPC. Kota Semarang, Sutarip Tulis Widodo (Adik Kandung Sukawi)

Beda pula dengan Jawa Tengah. Kesibukan Sukarwo sebagai Gubernur Jawa Timur membuka peluang dan memberi keleluasaan kepada Sekretaris DPD PD Jatim Boni Laksamana. Pasca Pilpres 2014, setidaknya ada 7 DPC di Jawa Timur yang diganti dengan Plt. orang-orang terdekatnya Boni.

Membangun Oligarki Sultanistik

Sepertinya SBY sedang membangun Oligarki Sultanistik yang dibantu oleh oligarki-oligarki daerah, Sukawi dan Sukarwo. Jika pembangunan kekuatan berbasis oligarki di Jawa Timur dan Jawa Tengah ini berhasil, tentu dapat dipastikan SBY sudah memiliki 75 suara pemilih yang akan mendudukkannya kembali menjadi Ketua Umum 2015-2019. Dengan catatan, tanpa cacat yang justru akan menjatuhkan citra SBY sebagai orang yang telah ditabalkan gelar Bapak Demokrasi.

Sayangnya oligarki-oligarki daerah justru menciptakan bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Kesewenang-wenangan oligarki daerah dan oligarki pusat memunculkan riak-riak kecil yang kini bersatu dan membesar memberikan perlawanan yang keras. Mereka yang telah diperlakukan tidak adil berteriak dan meronta meminta haknya yang telah dirampas untuk dikembalikan.

Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syariefuddin Hasan telah melewati wewenangnya sebagai petugas partai yang diberi mandat mewakili tugas Ketua Umum dalam menjalani roda organisasi sehari-hari. Syarief Hasan menandatangani semua SK Plt. yang adalah hak Ketua Umum tanpa mencantumi atas nama.

Somasi yang dilayangkan mereka-mereka korban Plt., sesungguhnya adalah sebuah gambaran bahwa Syarief Hasan tak begitu paham berorganisasi. Syarief Hasan tak belajar dari kasus PAW Gede Pasek Suardika. Tanda tangannya tak dapat diterima sebagai orang yang bertanggungjawab di partai, surat ditarik dan SBY tak bersedia menandatangani surat PAW Pasek. Ini tentu pengalaman sangat berharga dan seharusnya membekas pada Syarief Hasan. Pada titik itu, Syarief Hasan telah berhasil membuat SBY pusing dan gelar Bapak Demokrasi yang di sandang SBY pun terancam tercoret.

Niat untuk "mengkristalkan" nepotisme sebaiknya dibuang jauh-jauh, begitu pula niat untuk "mendinastikan" partai. Tentu kedua niat itu sangat jauh untuk menjadikan Partai Demokrat sebagai partai yang modern dan terbuka. Tulisan ini anggap saja sebagai cermin untuk memperbaiki kembali wajah yang telah tercoret. Saya paham, SBY sangat perduli dengan citra.

Soal kabar bahwa Kongres III Partai Demokrat bulan Mei mendatang akan mengupayakan SBY tanpa perlawanan atau aklamasi sebaiknya dilupakan. Soal kabar bahwa susunan kepanitian SC dan OC yang di bagian pucuknya telah di desain dengan sempurna dan di isi oleh inner circle-nya SBY, sebaiknya dipikirkan ulang. Begitu pula soal kabar bahwa pimpinan sidang untuk kongres sudah diatur sejak jauh hari agar tata tertib pemilihan tidak keluar dari skenario yang telah disusun dan dirancang. Syarat Calon Ketum yang diberat-beratkan menjadi skenario utama untuk hanya meloloskan SBY sebagai calon tunggal. Sebaiknya cara-cara yang akan merusak citra SBY tersebut dilupakan saja.

Lagi-lagi, tulisan ini tentu sebuah kritikan. Kritikan agar demokrasi berjalan lurus dan normal, karena ini menyangkut nama baik Sang Bapak Demokrasi Susilo Bambang Yudhoyono. Tentu harus diselamatkan. Begitu juga nama baik Partai Demokrat, partai yang katanya menjunjung tinggi demokrasi.

Saya juga tak yakin SBY yang memerintahkan untuk menggunakan cara-cara culas bergaya sengkuni itu. Tapi saya yakin ini adalah skenario para sengkuni di lingkaran SBY yang akan memanfaatkan kekuasaan SBY sebagai Ketua Umum untuk keuntungan pribadi mereka saja. Memperkaya diri. Menjual nama SBY untuk meraup harta kekayaan dari Pilkada, Kepala Daerah dan Calon Kepala Daerah, Calon Pimpinan Daerah dan Pimpinan Cabang Partai dan proyek-proyek. Ini yang harus dibersihkan oleh SBY. SBY jangan hanya terbuai dengan jilatan-jilatan lidah tipis para sengkuni. Salam Demokrasi!  ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun