Mohon tunggu...
Bobby Bintara
Bobby Bintara Mohon Tunggu... -

Saya seorang mahasiswa, yang tertarik dengan topik kebudayaan dan senang mempelajari mengenai sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita Tak Sebijak dan Sepintar Leluhur Kita

14 September 2010   03:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:15 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin banyak yang bertanya-tanya apa maksud judul tulisan saya ini. Mana mungkin masyarakat modern kalah bijak dan pintar dengan masyarakat kuno. Apalagi dengan segala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini yang membuat seolah-olah jarak menjadi tidak ada artinya. Selain itu, banyak leluhur kita yang buta huruf dan tidak pernah bersekolah. Jadi mengapa saya bilang bahwa leluhur kita jauh lebih bijak dan pintar dibanding kita? Saya akan memberikan satu contoh saja. Kita tentunya mengenal pataka atau coat of arm negara kita, yaitu Burung Garuda dengan perisai berisi 5 simbol Pancasila, 17 helai bulu di masing-masing sayap, 8 helai bulu di ekor, dan 45 helai bulu dil leher dan dada sang Burung. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah sehelai pita yang dicengkeram kaki sang Garuda, berisi slogan "Bhinneka Tunggal Ika". [caption id="attachment_257111" align="aligncenter" width="192" caption="Pataka Republik Indonesia"][/caption] Bagi yang tidak tahu sejarah dan arti dari slogan Bhinneka Tunggal Ika, akan saya jelaskan secara singkat. Bhinneka Tunggal Ika secara harafiah dapat diartikan menjadi "Berbeda-beda tetapi tetap satu". Slogan ini adalah petikan sebuah frase yang lebih panjang dari Kakawin (kitab) Sutasoma karangan Mpu Tantular pada masa zaman Kerajaan Majapahit, sekitar abad ke-14. Petikan lengkap dari frase yang memuat kalimat Bhinneka Tunggal Ika adalah sebagai berikut (Pupuh 139, bait 5) : "Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa. Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal. Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa." Yang dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi : "Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran." [caption id="attachment_257133" align="alignleft" width="199" caption="Bajang Ratu Gate - Trowulan"][/caption] Alkisah, petikan tersebut menceritakan dan mengajarkan toleransi antar dua agama yang berkembang di Majapahit pada zaman abad ke-14 yaitu agama Buddha dan agama Siwa. Sejatinya, dua agama itu adalah dua agama yang sangat berlainan walaupun muncul dari daerah yang berdekatan, namun dari perbedaan yang ada dapat ditarik satu benang merah sebagai jembatan diatas berbagai perbedaan, yakni sama-sama mengajarkan kedamaian, hakikat hidup manusia, relasi manusia dengan sesama manusia, dan relasi manusia dengan pencipta alam semesta ini. Pencipta alam semesta ini dipercaya sebagai suatu tokoh yang sama walaupun disebut dan dipanggil dengan nama yang berbeda. Seperti yang kita ketahui, Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang sangat besar yang membawa pengaruh yang besar bagi penyebaran bentuk kebudayaan Jawa pada daerah wilayah jajahannya, sampai ke semenanjung malaya, bahkan sampai ke daerah Filipina. Beberapa pihak bahkan menyebut bahwa Madagascar sempat menjadi wilayah jajahan Kerajaan Majapahit, walau tidak ditemukan bukti pendukung disana. Penyebaran bentuk dan teknologi pembuatan keris Jawa di daerah Asia Tenggara terjadi pada era ini dikarenakan pendudukan dan perdagangan yang dilakukan Kerajaan Majapahit. Mungkin dapat dikatakan bahwa wilayah NKRI pada saat ini merupakan warisan dari Kerajaan Majapahit, tentunya minus Malaysia, Brunei Darusallam, Filipina, dan daerah lainnya diluar peta NKRI pada saat ini. Tentunya Majapahit juga menghadapi permasalahan yang sama dengan NKRI pada saat ini, yakni permasalahan multikultural, sosial - budaya, bahasa, keyakinan, dan tentunya agama. Namun tidak pernah dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit baik dalam kitab Pararaton, Negarakertagama, Sutsoma, dan relief-relief serta bukti lainnya yang menggambarkan perpecahan Majapahit timbul karena perbedaan-perbedaan ini. Majapahit mulai mengalami keruntuhan karena adanya perpecahan dalam faksi yang berkuasa, yang dilanjutkan dengan pembagian kekuasaan dan wilayah kerajaan, perang saudara dan diakhiri oleh serbuan kerajaan Demak. [caption id="attachment_257135" align="aligncenter" width="220" caption="Kapal Perang Majapahit - Sarana Penyatuan Nusantara"][/caption] Serbuan Kerajaan Demak? Demak adalah sebuah kerajaan Islam yang tergolong sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Serangan tersebut dipimpin oleh Raden Patah yang telah memeluk Islam merupakan keturunan dari Raja Brawijaya V dari Majapahit. Satu hal yang perlu menjadi perhatian disini yaitu Raden Patah menyerang Majapahit hanya untuk merebut kekuasaan kerajaan tersebut, bukan untuk menghancurkan kebudayaan, keyakinan, maupun agama yang ada disana. Kebudayaan lokal masing-masing daerah tetap masih ada baik yang masih murni maupun yang telah berinkulturasi dengan budaya Islam. Penganut agama Buddha, Hindu, dan keyakinan lokal (Animisme-dinamisme) juga masih diberikan kebebasan untuk beribadah. Hal ini merupakan satu bukti bahwa konsep Bhinneka Tunggal Ika masih disanjung tinggi pada zaman ini. Toleransi dan penghormatan terhadap kepercayaan lain juga merupakan hal yang diajarkan oleh Wali Songo pada para santrinya. Dakwah tidak dibenarkan menggunakan tindakan-tindakan terror maupun kekerasan, namun melalui pendekatan sosial dan budaya. Berbagai kesenian tradisional Jawa yang ada pada saat ini juga merupakan hasil dari buah pemikiran para Wali yang mengunakan media kesenian untuk mengajar agama kepada masyarakat. Menilik kitab suci 5 agama di Indonesia, yang tentunya merupakan warisan dari pendiri atau pengajar mula agama tersebut entah Al-Quran, Alkitab, Weda, Tripitaka, pastinya juga tidak menganjurkan adanya tindakan kekerasan, teror dan pemaksaan kepada pihak lain yang berseberangan. Saya sendiri beragama Katolik, sehingga saya tidak akan membahas isi atau ajaran agama lainnya dalam tulisan saya ini karena takut salah, namun saya ingat satu ayat yang kalau diartikan kedalam bahasa Indonesia bunyinya "Agamamu agamamu, agamaku agamaku", yang bila dipahami intinya adalah sikap toleransi. Sang Buddha juga mengajarkan belas kasihan pada sesama manusia, bahkan pada hewan dan tumbuhan. Hal ini juga diajarkan pada agama Hindu. Pada agama yang saya anut, inti ajarannya  adalah cinta kasih. Satu sabda Yesus / Isa yang dikenal bahkan oleh penganut agama lain adalah, "Tetapi Aku berkata kepadamu : "Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu." (Matius 5;39). Semua agama memang mengajarkan kebaikan, cinta kasih dan kedamaian, karena semua agama menuntun manusia kepada Penciptanya. [caption id="attachment_257140" align="aligncenter" width="300" caption="Cultural Diversity"][/caption] Menghubungkan dengan judul tulisan ini, nampak bahwa leluhur kita, baik leluhur secara garis darah, garis adat dan budaya, maupun garis agama, mengajarkan bagaimana caranya hidup berdampingan dengan orang dari kepercayaan lain. Apalagi kita sebagai bangsa Indonesia dengan lebih dari 300 suku / etnis yang hidup didalamnya, yang dimana masing-masing etnis memiliki adat istiadat, budaya, kebiasaan, keyakinan dan bahasanya sendiri-sendiri, yang hidup saling berdampingan satu dengan yang lainnya. Keragaman ini seperti yang sudah saya bahas diatas, sudah ada sejak puluhan abad yang lalu. Oleh sebab itu, kemudian muncullah berbagai ajaran yang sifatnya adalah mengajarkan bagaimana hidup dalam keberagaman. Yang lebih penting adalah bagaimana membangun jembatan penghubung diatas segala perbedaan yang ada. Karena sejatinya perbedaan tidak akan pernah bisa dihilangkan dan dihapuskan dari muka bumi ini. Mungkin memang benar bahwa mencari titik temu dan membangun jembatan dalam kasus yang dihadapi Indonesia dengan ratusan keragaman yang ada memang jauh lebih sulit dibandingkan dengan negara-negara Eropa, Amerika, Australia, ataupun negara Asia lainnya, karena hanya Indonesialah satu-satunya negara yang terbentuk dari ratusan etnik lokal dan masih tetap berdiri sebagai bangsa multi-etnik. Mungkin hal itu bisa dikatakan sebagai berkat yang besar yang dianugerahkan Tuhan kepada kita, namun juga sekaligus merupakan kutukan. Karena ratusan etnis dengan budaya dan kepercayaannya masing-masing itu sangatlah sulit. Hal ini dipahami oleh  bangsa Eropa dan dimanfaatkan ketika mereka menjajah Indonesia, dan ternyata mereka cukup berhasil selama lebih dari 350 tahun. Dahulu kala tidak dikenal prinsip mayoritas - minoritas, dan tidak pernah ada organisasi kedaerahan, karena pada prinsipnya persatuan dan kesatuan tidak mengenal prinsip mayoritas-minoritas, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan atau pola pikir primordialisme tentunya tidak akan membantu trbentuknya persatuan tersebut, terlebih pada kasus Bangsa Indonesia. Kini lihatlah apa yang terjadi pada diri Bangsa Indonesia. Ajaran-ajaran leluhur yang sangat arif dan bijaksana tersebut cenderung dilupakan, bahkan diganti dengan ajaran dan paham bangsa lain (baik bangsa Timur dan bangsa Barat), yang tentunya tidak akan cocok bila diaplikasikan kepada Bangsa Indonesia. Hal positif yang berhasil dipakai oleh bangsa lain, belum tentu cocok dipakai disini bahkan mungkin malah akan menghancurkan bangsa ini. Namun sebaliknya, hal negatif bagi bangsa lain, belum tentu menjadi hal negatif bila dipakai disini. Masing-masing negara punya cita-cita dan pandangan sendiri-sendiri yang berkembang sesuai dengan budaya dan pengalaman masyarakat setempat yang sekali lagi tidak dapat betul-betul di-copy dan dipakai disini, karena sekali lagi, bangsa kita terbentuk dari ratusan etnis dengan budaya yang berdiri sendiri-sendiri. Kita harus mencarijati diri dan pandangan sendiri, disesuaikan dengan kondisi bangsa kita sendiri. Hal ini nampaknya telah dipikirkan leluhur kita, namun kini kita lupakan karena kita merasa lebih pintar, lebih maju, lebih pandai, lebih benar, lebih suci dari para leluhur kita di Indonesia. Justru pandangan inilah yang menjerumuskan kita saat ini. Sesuatu yang membuat kita jatuh jauh lebih bodoh dari leluhur kita yang ternyata malah sangat cerdas, dan bijaksana. Pandang saja paham anti pluralisme yang muncul pada saat ini di Indonesia. Apakah mereka yang mendukung anti-pluralisme itu tidak pernah belajar sejarah mengenai bangsa ini? Atau tidak pernahkah mereka mempelajari demografi Indonesia? Atau mereka yang membentuk organisasi yang sifatnya kedaerahan dan ternyata kemudian banyak menimbulkan teror, ketakutan, dan keributan. Apakah mereka tidak pernah belajar bahwa kita dijajah selama 350 tahun oleh VOC (1602 - 1800) dan kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Belanda (1800 - 1942) karena masyarakat pada zaman itu sengaja dipecah-pecah sesuai sukunya dan kemudian diadu domba. Saya rasa anda dapat menilai sendiri kondisi bangsa kita pada saat ini dan tidak memprotes saya mengenai judul yang saya buat. Tanyalah diri kita sendiri-sendiri, apakah kita sungguh-sungguh mengenal kebijakan leluhur kita dan menerapkannya dalam diri anda sendiri? Ajaran hidup yang diajarkan oleh para leluhur bangsa yang tertuang dalam berbagai serat, kitab, dan segala aspek produk kebudayaan (tarian, nyanyian, musik, dsb), tentunya tidak dibuat tanpa alasan, dan tidak dibuat tanpa proses pemikiran yang panjang. Daripada kita banyak mengadopsi pandangan hidup dari bangsa lain yang tentunya belum tentu cocok diaplikasikan disini, mengapa kita tidak menggali kebudayaan dan kearifan lokal? Banyak sekali bentuk produk kebudayaan dan kearifan lokal yang jika diaplikasikan disini, akan membuat bangsa ini kembali ditakuti tetangganya, seperti dahulu kala Kerajaan Majapahit ditakuti oleh kerajaan-kerajaan lain diluar nusantara ini. Menilik produk budaya lokal yang sarat nilai kehidupan, terdapatlah cerita wayang. Sebuah produk budaya yang diadopsi dari 2 cerita dari India yaitu Mahabarata dan Ramayana dan kemudian dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kearifan lokal. Jika ingin belajar bagaimana manusia seharusnya hidup, cobalah mencintai cerita wayang. Selain wayang, setiap produk budaya yang diciptakan leluhur kita, pasti terselip ajaran hidup yang sangat bernilai. Ajaran mengenai kedamaian, kerukunan, kerjasama, gotong-royong, dan juga pastinya toleransi. Entah itu produk seni non fisik seperti tembang / nyanyian, tarian, dolanan / permainan tradisional anak-anak, juga produk budaya fisik berupa pakaian tradisional, senjata tradisional, rumah tradisional, dan sejenisnya. Mungkin ini juga harus dicontoh oleh seniman pada masa kini, dimana ketika mereka menciptakan sebuah produk seni modern entah lukisan, lagu atau musik, dan lainnya, menempatkan ajaran nilai hidup didalamnya sehingga memberikan keteladanan yang baik bagi generasi muda. Jangan hanya sekedar lagu cinta dan lagu sendu sajalah yang diciptakan, namun juga lagu mengenai toleransi dan kedamaian. Satu yang pasti adalah kepentingan bangsa harus selalu diutamakan daripada kepentingan kelompok atau individu, selain menjalankan kearifan lokal tadi. Seperti juga ajaran agama, tidak ada satupun ajaran para leluhur yang mengajarkan anak cucunya untuk bersikap egois, tidak toleran, dan sejenisnya karena para leluhur menyadari hal itu bukan hal yang diinginkan oleh Sang Hyang Pencipta. Jika mereka yang hidup pada zaman dimana belum ada komputer dan mobil saja bisa berpikir bijak dan arif, mengapa kita tidak bisa? Pertanyaan utamanya adalah apakan masing-masing dari kita mau menekan egoisme pribadi dan kelompok demi tercapainya cita-cita bangsa? Pertanyaan klise, dan akan selalu klise selama seluruh anak bangsa tidak duduk tenang dan merenung. Mungkin harus kita sadari bahwa banyak kejadian tidak menyenangkan yang terjadi di Ibu Pertiwi kita ini adalah akibat tangisan kesedihan Ibu Pertiwi melihat anak-anaknya tidak dapat mengamalkan kebijakan dan menjaga kerukunan dan kesatuan. Itu hanya mungkin, namun patut untuk direnungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun