Tidak dapat dipungkiri bahwa maraknya fenomena LGBT sangat terkait dengan tren negara-negara liberal yang memberikan pengakuan dan tempat bagi penyandang LGBT di tengah-tengah masyarakat. LGBT dianggap sebagai bagian life style masyarakat modern yang menganggap pandangan heteroseksualitas sebagai konservatif dan tidak berlaku bagi semua orang. Kebebasan dan hak asasi kemudian menjadi dalih atas kebijakan tersebut.
Hingga saat ini masih terjadi pergolakan di negara-negara Barat, terutama kelompok konservatif yang memegang teguh nilai-nilai keluarga dan teologis yang secara gigih menentang praktek penyimpangan seksual tersebut. Lihat saja sikap pemimpin Gereja Katolik Perancis, Kardinal Phillipe Barbarin yang menyebut bahwa legalisasi atas pernikahan sejenis akan meruntuhkan tatanan hidup masyarakat.
Secara gencar para penyandang LGBT ini mensosialisasikan diri dan nilai-nilai seksualitas yang mereka anut dengan mengambil momentum kebebasan yang demikian terbuka. Targetnya adalah terciptanya proses habituasi (pembiasaan) dan adaptasi (penyesuaian) bagi masyarakat terhadap LGBT, sehingga akhirnya masyarakat akan menerima fenomena penyimpangan orientasi seksual yang jelas bertentangan dengan norma agama dan nilai-nilai sosial bangsa sebagai kelaziman, terbiasa dan bahkan tersugesti untuk masuk dalam kondisi yang mereka sebut sebagai hak azasi yang tergantung pada pilihan individu masing-masing.
Di Indonesia sendiri, memang saat ini belum ada politisi yang berani secara terbuka mendukung praktek penyimpangan seksual ini. Namun tidak menutup kemungkinan ketika penetrasi nilai dan pengakuan sosial kaum LGBT ini telah masif, akan merubah haluan para politisi yang memang cenderung melihat kesempatan berdasarkan kalkulasi potensi dukungan suara. Kaum LGBT kemudian semakin berani muncul di tempat publik dengan mempertontonkan identitasnya yang kini tidak lagi dianggap tabu.
Memang LGBT itu bukan kejahatan, tetapi memiliki potensi menghasilkan kejahatan seperti kekerasan seksual, penyebaran penyakit seksual dan agresi terhadap nilai-nilai publik. Seperti halnya kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan Indra Bekti dan Saipul Jamil kepada anak dibawah umur serta sesama jenis. Kasus ini diawali dengan adanya pengakuan pihak-pihak yang diyakini sebagai korban pelecehan seksual oleh kedua entertainer kondang ini.
Tidak saja telah mengagetkan berbagai pihak termasuk netizen, kasus ini juga membuat kedua artis ini mendapat malu bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Apalagi, kasus ini diyakini merupakan ajang promosi gratis mengenai LGBT.
LGBT adalah suatu penyakit yang pastinya bisa disembuhkan. Kita harus membantu mereka untuk sembuh. Orang berpenyakit tentu tidak layak dihujat. Dan penulis yakin bahwa tidak ada gunanya berargumen seperti: "Hewan saja berhubungan dengan lawan jenis. Masa kalah sama hewan?", "Listrik aja baru nyala kalau positif ketemu negatif...", dan seterusnya.
Selain itu, para orangtua diharap memberi pembelajaran yang sesuai dengan gender anaknya. Kalau anak perempuan ibu harus dominan memberi pembelajaran tatanan hidup perempuan. Seorang ayah harus bersikap tegas pada anak laki-lakinya agar anaknya tahan banting dan menjadi laki laki sejati tidak perlu melulu dengan kekerasan, tak lupa juga diberikan pembelajaran tentang hidup bermasyarakat dan beragama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H