“Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin”(Soekarno)
Sebuah perjalanan bisa sungguh mengubah hidup orang. Ibu Teresa dari Kalkuta pernah mengalaminya dalam kereta menuju Darjeeling. Di tengah perjalanan kereta api itu, wajah orang miskin menyentuh hatinya. “Aku haus,” kata si miskin. Teresa pun memutuskan untuk meninggalkan kenyamanan sebagai guru untuk berkarya demi kaum papa yang tak punya tanah.
Aku bukan Ibu Teresa. Aku hanya seorang musafir biasa. Akan tetapi, sapaan kemanusiaan berlaku untuk siapa saja tanpa memandang bulu. Dalam perjalanan kereta api Jakarta-Jogja di penghujung tahun lalu, aku mengalami pengalaman transformatif.
Wajah gelisah anak-anak miskin Jakarta
Jakarta bukan kotaku, namun akhirnya menjadi bagian hidupku. Di metropolitan Jakarta, aku bersua dan bekerja sama dengan Ibu Hermina, guru tunggal anak-anak kolong tol yang sudah 23 tahun mengajar tanpa gaji. Wajah anak-anak miskin TK Anak Kolong itulah yang membayang di jendela kereta ketika aku meninggalkan Stasiun Gambir Jakarta.
TK Anak Kolong (AnKol) di Jalan Kampung Baru, Kubur, RT 11 RW 16, No 24, Penjaringan, Jakarta Utara, 14440 adalah gagasan murni swadaya keluarga almarhum Paulus Madur, seorang warga biasa asal Pagal, Flores. Paulus tergerak membangun sekolah swadaya yang bernama asli Tunas Bangsa Anak Kolong itu pada Maret 1995 di atas sebidang tanah sempit persis di bawah kolong jembatan tol Pluit.
Anak-anak didik TK AnKol kesulitan mengakses pendidikan formal karena ketiadaan dokumen penduduk orang tua yang hidupnya nomaden dan terjebak dalam kemiskinan sebagai pemulung dan buruh.
Saat ini pengajaran di TK Anak Kolong dipenggawai oleh Hermina Dwitius atau Erna. Ia adalah putri almarhum Paulus Madur penggagas Sekolah Anak Kolong. "Waktu itu murid-murid pertama sekolah ini adalah anak-anak pemulung dan buruh. Sebelum masuk kelas, anak-anak menaruh karung yang mereka gunakan untuk memulung sampah," kenang Hermina.