Baru-baru ini viral video seorang calon presiden yang mengatakan "Ndasmu Etik" dalam forum internal partai yang mengusungnya menjadi calon presiden.
Warganet (netizen) ramai menanggapi ungkapan "Ndasmu Etik" tersebut. Sebagian warganet menilai, ungkapan itu tidak sopan diucapkan seorang calon presiden. Sebagian warganet lain mengatakan, ungkapan itu hanya candaan yang tidak perlu dipermasalahkan. Lantas, bagaimana kita menilai "Ndasmu Etik" dari sisi kebahasaan?
Asal kata "ndasmu"
Calon presiden yang sedang kita bahas dalam tulisan ini memiliki pengetahuan mengenai bahasa Jawa. Dari bahasa Jawa inilah ia mengambil kosakata "ndasmu" yang berarti "kepalamu".Â
Dalam bahasa Jawa, ada beberapa tingkatan kehalusan bahasa. Kata "ndasmu" termasuk ragam tutur ngoko atau tingkatan paling rendah dalam tingkatan kehalusan bahasa Jawa.Â
Pada masa lalu, dalam bahasa Jawa ada aneka tingkatan kehalusan bahasa, misalnya: kromo, kromo madya, kromo inggil, dsb. Saat ini umumnya yang dikenal masyarakat adalah ngoko (bahasa "kasar" atau pasaran) dan kromo inggil (halus; digunakan untuk menghormati lawan bicara).
Kata kromo inggil untuk kata kepala adalah mustaka. Si calon presiden memilih menggunakan kata "ndas" yang berasal dari tingkatan bahasa ngoko (kasar/pasaran).Â
Lazimnya, ungkapan "ndasmu" digunakan penutur bahasa Jawa untuk mengungkapkan kekecewaan, ketidaksetujuan, atau candaan. Misalnya dalam percakapan berikut:
Abdul: "Bondi, nyilih dhuwit satus ewu sik. Sesuk tak balekke." ("Bondi, pinjam uang seratus ribu dulu. Besok saya kembalikan.")
Bondi: "Ndasmu peang. Wingi utangmu wae durung mbok lunasi! ("Kepalamu peang. Kemarin hutangmu saja belum kamu lunasi")