Pagi yang cerah di Stasiun Tugu. Dalam gundah aku termangu. Inikah Tugu yang dulu? Sungguh, berbeda jauh dengan Tugu yang kukenal pada masa kecilku.Â
Ya, Tugu yang semarak dengan teriak. "Pecel...pecel...,"seru simbok-simbok pedagang yang kala itu leluasa menyambangi stasiun penuh sesak.
Itu dulu. Tiga dasawarsa lalu. Kala itu, Tugu masih lugu. Kini Tugu telah bersolek. Juga berkat kehadiran KAI Commuter dalam rupa KRL Yogya-Solo yang molek.Â
Aku memang bukan pejalan. Akan tetapi, toh aku dan KRL Yogya-Solo menjadi kawan. Jadwalnya ciamik. Berselimut pelayanan kru yang apik. Tahukah, duhai sahabat kekasih, gerbong-gerbongnya berselubung desain anggun batik?
Di depan Tugu sisi selatan, terpampang jelas: Jogja Kota Batik Dunia. Sungguh, perpaduan stasiun adirupa dan kota berkarunia! Siapa tak ikut bangga merayakan budaya Nusantara dalam detak jantung kereta kencana?
Tak salah bahwa gerbong KAI Commuter Yogya-Solo berpakaian batik memesona. Betapa tidak, dua kota ini pusat seni adibudaya. Corak sidomukti, kawung, semen rante berpadu dengan ceplok dan nitik penuh makna.Â
Seperti sebuah cinta pertama seorang jomlo, demikianlah perjalananku bersama KAI Commuter Yogya-Solo. Orang Yogya ke Solo mencari segarnya timlo. Orang Solo ke Yogya berteduh di naungan joglo.Â