Setiap faksi praktis adalah sebuah partai di dalam sebuah partai; masing-masing memiliki organisasinya sendiri, sumber dananya sendiri, dan kepemimpinannya sendiri. Kadang-kadang faksi yang berbeda bahkan telah mencalonkan calon yang berbeda untuk kursi Parlemen.
Artinya, hampir tidak ada perdana menteri yang mampu mempertahankan loyalitas partai secara keseluruhan untuk waktu yang lama. Sistem ketatanegaraan Jepang adalah Parlementer, bukan Presidensial, yang berarti Perdana Menteri hanya dapat tetap menjabat sambil dapat mengandalkan dukungan mayoritas di Diet (Parlemen).Â
Dengan partai yang berkuasa dibagi menjadi faksi-faksi, semua dipimpin oleh tokoh-tokoh kuat yang semuanya menginginkan "giliran" mereka di puncak.
Sangat jarang seorang Perdana Menteri Jepang bertahan lebih dari dua tahun. PM Nakasone menjabat lima tahun, PM Satoo tujuh tahun dan Abe delapan tahun.Â
Kasus-kasus luar biasa ini berhasil membuat faksi-faksi yang bersaing melawan satu sama lain lebih lama dari biasanya. Meskipun demikian, biasanya jarang ada PM Jepang yang mengakui bahwa mereka kehilangan dukungan partai. PM Abe, misalnya, sempat mengatakan dia mengundurkan diri karena alasan "kesehatan".
Akan tetapi, alasan "kesehatan", dalam bahasa Jepang, adalah eufemisme yang terkenal untuk "kurangnya dukungan partai".
Di Jepang, kala seorang pejabat kehilangan kepercayaan publik secara drastis, hampir dipastikan ia akan sadar diri dan mengundurkan diri dari jabatannya.
Mengapa pejabat Indonesia "malas" mengundurkan diri meski gagal?
Pertanyaan yang menggelitik adalah mengapa sebagian besar pejabat Indonesia "malas" mengundurkan diri meski gagal? Ada dua alasan:
Pertama, kurangnya atau tiadanya budaya malu
Jujur, budaya malu belum menjadi budaya (sebagian besar pejabat) kita. Yang sering terjadi, sebagian besar pejabat kita yang gagal justru menyalahkan anak buah atau pihak lain.Â