Budaya Cukup dan Hidup Ugahari
Manusia cenderung tak pernah merasa puas dengan prestasi dan gaji, biarpun sudah tinggi. Sangat langka menemukan insan yang menghayati budaya cukup dan memilih untuk hidup ugahari.
Akan tetapi, sebenarnya cukup banyak insan budiman di sekitar kita, yang memutuskan untuk merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan memilih untuk memberikan bantuan pada orang miskin papa dan atau mendedikasikan diri untuk karya sosial.Â
Saya mengenal seorang pria, pensiunan pejabat perusahaan kereta api di sebuah negara di Benua Biru. Dengan uang pensiunnya, dia sebenarnya bisa bersantai-santai menikmati hari tua. Bisa liburan ke luar negeri sesuka hati.
Akan tetapi, dia merasakan ada panggilan jiwa untuk bergabung dengan sebuah kelompok pemerhati kaum miskin. Dia ikut membantu kaum imigran dan kaum miskin di sekitar tempat tinggalnya. Dia memilih untuk menggunakan waktu luangnya untuk membantu distribusi makanan pada kaum papa.Â
Mobilnya biasa saja. Dengan mobil itulah, dia keliling ke sana ke mari untuk mengumpulkan bantuan dan menyalurkannya pada yang memerlukan.Â
Uang bensin dia keluarkan dari kantongnya untuk karya sosial itu. Rugi secara ekonomi, namun dia tampak bahagia menjalaninya.Â
Saya tahu, di kelompok pemerhati orang miskin itu, ada saja oknum yang diam-diam korupsi dengan mengambil bantuan yang bukan haknya. Si bapak pensiunan ini tidak melakukan kejahatan semacam itu. Dia jujur.Â
Raut wajah si bapak ini selalu bahagia. Sapaannya selalu terasa tulus dan hangat. Itulah buah dari kejujuran hati yang memancar ke luar.Â
Seandainya setiap pribadi dan keluarga di Indonesia mendidik diri untuk merasa cukup dan mau hidup ugahari, niscaya korupsi akan dapat kita basmi.Â
Jika Tuhan sudah memberikan cukup untuk hidup yang sehat dan bahagia, artinya saatnya kita berbagi pada yang lebih memerlukan. Mengambil hak orang lain dengan korupsi itu ibarat minum air garam. Selalu haus dan haus, tanpa henti. Sampai akhirnya mati karena dehidrasi.Â