Entah berapa warsa melintas tanpa terasa. Perjumpaan pamungkas di teras aula. Kala itu aku dan engkau teramat belia. Mencoba mengeja kata sayang yang belum matang.
Sang waktu melaju kencang. Meninggalkan memori tentang obrolan ringan. Warna kesukaan. Guru idola. Juga lesung pipi dan gingsul yang menyembul.Â
Engkau tak pernah mengeja kata-kata yang kunanti. Pula diriku yang malu. Tak sepadan dengan dirimu yang ayu. Sementara aku: rengginang di dasar kaleng biskuit di sekolah elit.Â
Zaman dan musim berganti. Entah engkau ada di mana kini.Â
Mungkin bersama seorang pria dan anak-anak yang ceria.Â
Mungkin pula di negeri permai di ujung bumi. Di mana salju terasa syahdu bagi puan jelita penyuka warna putih sepertimu.Â
Lelah sudah aku mencari jejakmu. Ribuan akun yang memuat namamu. Ratusan teman dan rekan. Nihil tiada harapan. Mungkin memang perpisahan tak perlu diakhiri dengan perjumpaan.Â
Hingga kemarin malam. Saat iseng kubaca sebuah cerita tentang panti asuhan di ujung negeri. Ada sosokmu. Berbaju putih anggun. Bahagia dalam pelukan makhluk-makhluk mungil yang bukan milikmu.Â
Duhai, akhirnya aku menemukanmu. Juga menemukan diriku, pria yang selama ini terjebak dalam pencarian jejak.Â
Ah, aku cuma pria yang ingin memastikan engkau bahagia.