Di tengah pandemi, kita tetap perlu optimis dan berpengharapan, juga dalam memajukan literasi di Indonesia tercinta. Inilah kisah nyata upaya dan harapan saya dan insan-insan budiman dalam mendirikan taman baca dan pojok baca di pelosok Indonesia.
Literasi sebagai kunci kemajuan bangsa
Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh tingkat literasi warganya, terutama tingkat literasi anak-anak dan generasi muda.
Ir. Soekarno pernah menyatakan,"Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Makna ungkapan ini adalah bahwa generasi muda menjadi kunci perubahan dan perkembangan negara dan jagad.
Soekarno seorang pencinta buku dan bacaan bermutu. Menurut mantan ajudan Sukarno, Sidarto Danusubroto, Soekarno berusaha tetap menyempatkan diri membaca dalam situasi apa pun. Berstatus tahanan kota pada 1967, Soekarno mengisi waktu dengan membaca buku.
Tidak mengherankan, presiden pertama kita dikenal sebagai tokoh intelektual cemerlang dan orator ulung. Alumnus Technische Hoogeschool yang kini menjelma menjadi Institut Teknologi Bandung itu juga adalah seorang poliglot brilian. Beliau mahir berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Arab, Belanda, Jerman, Prancis, Inggris, dan Jepang.
Perpustakaan sebagai pendorong minat baca
Survei Pew Research Center pada tahun 2012 di Amerika Serikat membuktikan betapa pentingnya perpustakaan (dan taman baca) bagi anak-anak.
Sebanyak 84% orang tua mengatakan, perpustakaan membantu menanamkan kecintaan anak-anak mereka pada membaca buku. Sebanyak 81% mengatakan, perpustakaan menyediakan informasi dan sumber daya yang tidak tersedia di rumah bagi anak-anak mereka.
Proses mempromosikan membaca terjadi secara bertahap dalam konteks yang berbeda (keluarga, sekolah dan perpustakaan) sebagai hasil dari berbagai faktor. Hal ini terjadi berkat kontak dekat dan teratur dengan buku, terutama di rumah bersama keluarga, dan khususnya dengan orang tua (Hannon 1995).