"Saya hanya bisa menulis fiksi saja. Selalu ragu dan tidak percaya diri kala menulis non-fiksi"
Mungkin pernyataan di atas mampu melukiskan isi hati sejumlah penulis fiksi yang merasa ragu kala ingin menulis tulisan non-fiksi. "Aku cuma nyaman berpuisi dan menulis cerpen saja. Menulis artikel semacam ulasan opini yang panjang-panjang aku tak sanggup."
Sebagai penulis pemula yang mencoba menulis fiksi dan non-fiksi, saya ingin berbagi pengalaman untuk menanggapi keraguan ini.
Pertama-tama, kita perlu mengenali sumber keraguan kala hendak menulis tulisan non-fiksi. Saya membagi sumber atau alasan keraguan itu menjadi beberapa alasan:
Pertama, kurangnya pengalaman positif kala menulis non-fiksi
Bisa jadi, seorang pernah mengalami perundungan atau bullying kala menulis tulisan non-fiksi di masa lalu. Mungkin saja, ada sebagian teman yang pernah mengejek karyanya sehingga si penulis ini trauma.
"Wah, artikelmu kok gitu doang, sih?" Hmm...siapa tak jengkel dan malu kala dirundung seperti itu. Jika pengalaman dirundung ini tak diolah dengan baik, seseorang bisa sangat ragu menulis karya non-fiksi.
Selain itu, bisa jadi seseorang memang kurang memiliki pengalaman positif kala menulis non-fiksi. Umpama, nilai yang diberikan guru atas karya non-fiksi siswa pas-pasan semasa sekolah dulu. Atau, selalu gagal menembus media massa dan gagal menang lomba non-fiksi.
Frustasi atas minimnya apresiasi atas karya non-fiksi bisa jadi alasan munculnya keraguan kala ingin menulis non-fiksi (lagi) di usia dewasa.Â
Kedua, kurangnya kemampuan menyusun kalimat dan paragraf yang padu
Alasan keraguan lain untuk menulis artikel non-fiksi adalah rendahnya kemampuan penulis untuk menyusun kalimat dan paragraf yang padu.