"Saya tidak bisa menulis panjang-panjang. Saya juga tidak mampu menguraikan gagasan secara runtut."
Alasan ini sebenarnya sangat bisa kita maklumi karena memang pelajaran bahasa Indonesia setakat ini kurang memacu keterampilan menulis dan berargumentasi. Ini adalah juga kelemahan utama pendidikan di Indonesia yang masih saja berorientasi pada nilai ujian alih-alih keterampilan siswa.Â
Alasan mengapa penulis fiksi tidak perlu ragu menulis karya non-fiksi
Sejatinya ada sejumlah alasan mengapa penulis fiksi tidak perlu ragu menulis karya non-fiksi, misalnya opini dan feature:
Pertama, keterampilan menulis non-fiksi tidak sangat berbeda dengan keterampilan menulis fiksi.
Bukankah menulis, baik fiksi maupun non-fiksi, adalah merangkai aksara, kata, kalimat, dan gagasan agar menjadi karya yang padu? Mengapa ragu menjadi juga penulis non-fiksi?Â
Kedua, penulis fiksi justru memiliki keunggulan saat menulis artikel non-fiksi
Nah, sejatinya penulis fiksi justru memiliki keunggulan saat menulis artikel non-fiksi. Saya sebagai penulis fiksi (biarpun masih pemula) bisa menunjukkan salah satu contoh keunggulan tersebut.
Kita yang terbiasa menulis fiksi lazimnya lebih unggul dalam menggunakan panca indra dalam menulis. Ini kurang dimiliki para penulis yang hanya menulis non-fiksi saja.Â
Contoh: Di hadapan seorang penulis fiksi, perjumpaan dengan seorang pemulung renta bisa dilukiskan dengan sangat rinci.
"Pria itu menyandarkan punggung rentanya/ Peluh mengucur bak hujan dari dahinya/ Bau busuk dari tong sampah tak ia hiraukan demi nafkah anaknya."