Ngayogyakarta Hadiningrat, 1946
Jogja masih berselimut kabut lembut. Saat sebagian besar orang masih lekat berselimut, para simbok pedagang pasar telah berjalan kaki menunggu angkutan desa.Â
Pagi itu di Jalan Wates, angkot tak jua lewat. Mbok Painah gelisah. Jika ia gagal mencapai Pasar Kranggan di awal hari, bagaimana ia bisa mengais rezeki? Makin siang, pembeli makin berkurang.
Terbayang wajah-wajah tiga anaknya yang merengek-rengek minta uang jajan. Tambah lagi, uang SPP belum lunas. Beras di persediaan dapur pun nyaris tandas. Mbok Painah menunggu angkot dengan wajah memelas.
Dari kejauhan tampak sebuah mobil kodok. Warna cat mobil itu putih. Kabut pagi menyamarkan kedatangan mobil itu. Sopirnya seorang pria paruh baya. Beberapa helai rambut putih menyembul di kepala sang sopir.
"Badhe tindak pundi, Mbok?" tanya pria itu. Mau pergi ke mana, arti pertanyaannya.
"Ten peken Kranggan, Pak", jawab sang Simbok.
Sang sopir mempersilakan Simbok memasuki mobilnya. Sang simbok awalnya menolak.
"Nanti mobil ini kotor terkena sayur jualan saya," kata sang pedagang renta.
"Tidak apa-apa, Mbok. Kalau kotor, nanti kan tinggal saya bersihkan. Mari naik. Saya bantu memasukkan barang dagangan Simbok," kata pria nan ramah itu.Â
Mbok Painah akhirnya luluh. Ia menerima tawaran sang sopir yang baru kali ini dia jumpai.Â