Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Natal, Gembala, dan Sikap Kita pada yang (Dianggap) Tidak Suci

24 Desember 2020   11:26 Diperbarui: 29 April 2021   09:59 1759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Natal dan para gembala - pixabay.com

Natal sejatinya adalah peristiwa universal. Natal mengingatkan kita akan kelahiran kita masing-masing. Setiap manusia lahir dalam keadaan suci. Tak bernoda. Kudus. Suci. 

Benih-benih kesucian itu ada dalam tiap insan sejak ia dilahirkan. Dalam perjalanan hidup, tiap manusia harus berjuang melawan godaan setan yang berusaha mengotori kesucian awali itu.

Gembala, Bukan Penguasa

Ada satu hal menarik kala kita merenungkan kisah Natal. Malaikat Tuhan mewartakan kabar kelahiran Yesus bukan pada penguasa, melainkan pada para gembala di Betlehem. 

Siapakah para gembala dalam kisah kelahiran Yesus? Secara tersurat, merekalah yang pertama kali mendengar pewartaan malaikat bahwa Yesus telah lahir. Ini menjadikan mereka tokoh istimewa dalam kisah kelahiran Yesus. Akan tetapi, rupanya ada alasan lain yang secara tersirat disampaikan oleh penginjil Lukas.

Menurut para pembelajar Alkitab, pada zaman Yesus, para gembala adalah kaum tersingkir dan dianggap tidak suci. Mengapa? 

Kita tahu bahwa pada zaman Yesus, oknum tokoh agama gemar membuat aturan-aturan yang ketat. Para oknum pemuka agama itu mengajarkannya seolah-olah sebagai perintah ilahi. Kelak ketika Yesus berkarya, berkali-kali Yesus menyampaikan kritik pedas terhadap ajaran para tokoh agama tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan para gembala? Para gembala adalah orang-orang yang karena tuntutan pekerjaan sangat sulit memenuhi ketentuan hukum ritual Yahudi pada masa itu, yang cenderung diperumit oleh para petinggi agama. 

Bayangkan saja, bagaimana mungkin para gembala yang sehari-hari berkotor-kotor karena bersentuhan dengan hewan ternak dapat secara sempurna memenuhi aturan kebersihan ritual Yahudi yang sangat rumit itu? 

Bagaimana mungkin para gembala datang secara rutin ke rumah ibadah kalau mereka pada saat yang sama harus menjaga ternak?

Selain itu, dari Talmud Babilonia Sanhedrin 25b, kita tahu bahwa para rabi (guru) Yahudi menggolongkan para gembala sebagai salah satu kelompok orang yang tidak boleh dipilih sebagai saksi dalam pengadilan zaman itu. 

Mengapa? Pandangan umum pada zaman itu menganggap para gembala sama dengan perusak tanaman orang. Para gembala dianggap membiarkan begitu saja ternak mereka memakan tanaman di kebun orang. 

Menurut para rabi, golongan perusak seperti para gembala tidak layak dijadikan saksi dalam pengadilan. Padahal, tidak semua gembala bertindak ngawur seperti yang dituduhkan! 

Mirip para pemulung yang sering kita samakan dengan pencuri. Di jalan masuk perumahan dan desa, mungkin ada papan "Pemulung dilarang masuk!"

 Tunggu dulu, bagaimana dengan pemulung yang jujur?

Mungkin harus kita revisi papan yang diam-diam menyakiti hati orang kecil nan jujur itu. "Siapa pun yang jujur silakan masuk" atau "Anda jujur, kami mujur."

Akibat dua alasan di atas (kesulitan memenuhi hukum agama dan cap negatif yang dituduhkan oleh pemuka masyarakat), para gembala digolongkan sebagai kelompok yang tidak bisa dipercaya, yang tidak jujur, yang tidak saleh. 

Menariknya, Allah mengutus malaikat-Nya untuk menyampaikan kabar sukacita bahwa Yesus lahir pada para gembala. Ini menunjukkan bahwa Allah menghargai kaum yang disingkirkan oleh masyarakat pada umumnya. Allah memilih para gembala yang tersingkir secara sosial dan keagamaan. 

Allah memilih orang-orang yang dianggap tidak suci oleh masyarakat untuk melaksanakan tugas mulia.

Sungguh mengagumkan, bukan?

Kita menemukan perwujudan keberpihakan Allah terhadap kaum terhina dalam hidup dan karya Yesus. Yesus tak segan makan bersama mereka yang dianggap sampah masyarakat: para pemungut pajak antek penjajah Romawi dan para pendosa berat.

Yesus bahkan memilih sebagian dari mereka untuk menjadi murid dan utusan-Nya. Rupa-rupanya, keberpihakan pada yang dianggap tidak suci ini sudah sejak awal ditampilkan oleh penginjil Lukas dalam kisah kelahiran Yesus.

Gembala: Dipilih Meski Jauh dari “Yang Suci”

Tuhan tidak memandang status dan tempat asal atau pun pekerjaan orang yang dipilih-Nya. Tuhan memilih juga pribadi-pribadi yang sehari-hari jauh dari “yang suci” untuk mewartakan kabar kebaikan. 

Bukankah sering terjadi, orang-orang yang berbuat banyak kebaikan adalah mantan penjahat? Bukankah sering kita jumpai, orang-orang yang pemahaman intelektual keagamaannya pas-pasan saja ternyata berbuat banyak sekali kebaikan? 

Nyatanya, dalam kisah Natal, Allah memilih mengutus malaikat-Nya menampakkan diri pada para gembala yang “tidak suci” secara ritual dan sosial! 

Natal mengajak kita untuk mencintai tiap insan yang diciptakan Tuhan dalam keadaan awali nan suci. 

Berhentilah menganggap orang lain kurang suci atau tidak suci. Jangan-jangan, justru kita sendiri yang mengaku suci, tetapi sedang menipu diri.

Salam damai. Selamat (jelang) Natal bagi saudara-saudari kristiani. Damai di bumi. Damai di hati kita. R.B.

--

[Tulisan ini diolah dari artikel yang pernah dimuat di blog pribadi]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun