Beberapa tahun lalu, saya bertugas di sebuah desa di Kalimantan Utara. Waktu itu wilayah itu masih termasuk Provinsi Kalimantan Timur. Perjalanan dari kota kabupaten ke kampung itu memakan waktu setidaknya tiga jam dengan perahu ketinting.Â
Bahan pangan pokok berupa beras didapatkan warga setempat dari hasil bertanam padi ladang. Akan tetapi, bahan pangan lain, seperti aneka daging, telur ayam, gula pasir, minyak goreng, dan sejumlah bumbu dapur tetap harus dibeli di kota.Â
Di kampung yang dihuni sekitar 300 warga itu, hanya ada dua warung. Saya biasa berbelanja di salah satu warung sambil mengobrol dengan warga setempat yang sangat ramah menyambut pendatang. Berbelanja di warung sembari bersosialisasi mengingatkan saya pada suasana warung keluarga saya di DIY.
"Mama Lina, saya beli minyak goreng satu botol. Juga telur sepuluh. Tolong pilihkan yang masih bagus," pinta saya. Mama Lina, si pemilik warung menjawab,"Untuk baya hem pasti Mama pilih yang bagus."
"Baya hem" adalah sebutan warga setempat untuk orang dari Jawa. Arti harfiahnya "orang asam". Bagi warga di situ, asam identik dengan Pulau Jawa. Semua perantau dari Jawa mereka sebut "orang asam" alias "baya hem."
Kembali ke soal telur. Mengapa saya meminta telur yang masih bagus? Karena pernah terjadi, saya membeli beberapa telur yang sudah kedaluwarsa. Bukan salah siapa-siapa. Di daerah pedalaman, memang sukar mendapatkan produk yang masih segar.
Saya coba membayangkan jadi si telur yang harus menempuh perjalanan panjang dari peternakan nun jauh di sana. Entah sudah berapa kali telur itu berpindah tangan dari tangan pedagang satu ke pedagang lain hingga tiba di warung Mama Lina.
Harganya sebutir telur di warung Mama Lina bisa tiga kali lipat harga telur di warung keluarga saya di Yogyakarta. Inilah wajah pelosok Indonesia yang sesungguhnya. Jarang diliput media arus utama.Â
Ketika ada kenaikan harga BBM, warga di pedalaman tidak ikut demo. Mengapa? Bukan karena tidak merasakan dampak kenaikan harga. Mereka sudah terbiasa membeli barang dengan harga berlipat-lipat dari harga di Jawa. Hanya bisa menerima berapa pun kenaikan harga.
Pola hidup ekstraktif dan dampak pada gizi ibu dan anak
Belasan tahun lalu, warga di kampung tempat saya bertugas selama setahun itu masih menerapkan pola hidup ekstraktif. Apa artinya? Warga memenuhi sebagian besar kebutuhan hidup dengan mengumpulkan apa yang dihasilkan alam.