Sekitar sepuluh tahun lalu, saya menjalani semacam praktik lapangan di sebuah daerah indah di Kalimantan Utara. Kampung tempat saya selama setahun menjalani praktik di tengah warga itu berjarak tiga jam berperahu dari ibu kota kabupaten.
Saya, seorang Jawa, terus terang merasa asing dengan adat budaya masyarakat Kalimantan Utara. Ada segumpal kecemasan di hati kala mengetahui bahwa saya harus bertugas di daerah baru yang sama sekali tidak saya kenal adat-istiadatnya.
Tibalah saya di kampung yang mayoritas dihuni saudara-saudariku suku Dayak Ma'apan. Pertama kali tiba di kampung itu, saya dibuat terkesima oleh harmoni yang tercipta.
Betapa tidak, kampung itu bertetangga dengan dua kampung lain yang secara adat dan agama berlainan, namun bisa hidup rukun dan damai. Kampung saya yang terletak sedikit di hulu sungai dihuni mayoritas Katolik, kampung di hilirnya mayoritas Kristen, dan kampung di hilirnya lagi mayoritas Islam.
Yang membatasi kampung satu dengan kampung lainnya hanyalah jembatan kecil. Uniknya, tiga kampung itu pun mewakili tiga suku dan tiga bahasa yang berbeda-beda.
Kampung saya suku Dayak Ma'apan, kampung tengah Dayak Kenyah, dan kampung hilir Bulungan. Bahasa daerah yang dipergunakan pun berlainan. Tidak lantas bahasa Dayak Ma'apan bisa dipahami penutur bahasa Dayak Kenyah. Meski bertetangga kampung, warga tiga kampung itu disatukan oleh bahasa Indonesia, bukan oleh bahasa daerah yang satu.
Berjalan dari hulu ke hilir menjadi pengalaman unik. Di kampung hulu ada bangunan gereja Katolik, di kampung tengah ada gereja-gereja Kristen, dan di kampung hilir ada masjid.
Anak-anak kampung hulu dan hilir bersekolah di SMP yang terletak di kampung tengah. Dengan demikian, para siswa-siswi SMP itu pun beraneka agama dan suku.
Kisah cinta antar-agama pun bukan hal istimewa. Ini juga yang kadang bikin galau anak-anak remaja dan anak-anak muda. Lagu "Peri Cinta" yang dipopulerkan Marcell serasa pas melukiskan gundah gulana cinta beda agama.
"Aku untuk kamu, kamu untuk aku. Namun semua, apa mungkin? Iman kita yang berbeda. Tuhan memang satu, kita yang tak sama. Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi. Benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai...."
Tak semua kisah cinta beda agama berujung ke pelaminan. Akan tetapi, ada juga beberapa pasangan nikah beda agama di antara tiga kampung itu.Â