Saya terkekeh-kekeh kala membaca berita lokal yang dirilis sebuah koran di Provinsi Bangka Belitung pada 2017. Kala itu Gubernur Erzaldi Rosman menasihati Bupati Bangka Tengah (Bateng) Ibnu Saleh dengan berkata, "Saya titipkan Bangka Tengah jadi harus lebih baik dari yang sekarang. Hindari sikap-sikap yang membuat orang marah, dan jangan terlalu banyak cengkonek."Â
Mengapa saya tertawa? Karena kata cengkonek itu juga sering saya dengar ketika masih kecil. Saya dibesarkan dalam lingkup keluarga yang pernah merantau di Kepulauan Riau sebelum kembali menetap di Kota Gudeg dan Bakpia.
Mama saya sering berkata,"Tolong bantu sapu rumah. Jangan banyak cengkonek." Mungkin karena berkali-kali dinasihati demikian, saya jadi anak alim. Hehehe.Â
Terdorong rasa penasaran, saya menelusuri dua kata, yaitu cengkonek dan cengkunek. Cengkonek dan cengkunek intinya sama saja. Kurang lebih artinya adalah "tingkah" atau "omong" atau "cakap."
"Jadi orang jangan banyak cengkunek" artinya "jadi orang jangan banyak tingkah". Kerjakan saja apa yang diperintahkan tanpa banyak mengeluh. Kurang lebih begitu.
Kata cengkunek ini menurut Wiktionary telah ditambahkan dalam KBBI pada Oktober 2019 sebagai tambahan VI.
Penjelajahan saya di dunia maya mempertemukan saya dengan kata cengkunek yang rupanya juga digunakan di Medan. Orang Medan sana juga berkata, "Jangan banyak cengkunek lah". Artinya, jangan banyak lagak atau banyak gaya atau banyak alasan.
Makna yang sama saya temukan dalam laman yang membahas bahasa Minang. Kata cengkunek ini kiranya berpadanan dengan kata cincong dan (ber)tingkah dalam bahasa Indonesia.
Juga bersinonim dengan banyak mulut, celomes, celopar, gapil mulut, beleter, dan mulut rambang.