Tentang mengapa bahasa Indonesia diterima begitu saja dalam Kongres Pemuda II tahun 1928 tanpa melewati perdebatan-perdebatan seru, bekas Duta Besar Tamzil gelar Sutan Narajau [...] Â menyatakan, materi Sumpah Pemuda memang sudah dibicarakan dalam Kongres Pemuda I tahun 1926, tapi belum berhasil. Barulah dalam kongres ke II formula dari materi tersebut diketemukan.
Akan halnya mengapa bahasa Indonesia yang sebenarnya adalah bahasa Melayu yang diterima sebagai bahasa persatuan, ia mengatakan, bahasa Melayu diajarkan di sekolah-sekolah Bumiputera, mudah dipelajari dan telah dimengerti oleh penduduk-penduduk daerah pantai."
Saya menambahkan, bahasa Jawa memang rumit untuk dipelajari dan dimengerti bahkan oleh orang Jawa sendiri. Adanya tingkatan krama inggil dan ngoko membuat bahasa Jawa indah namun juga sangat menantang untuk dikuasai.Â
Frasa "Anda makan apa?" dalam krama inggil yang dipercakapkan antara kalangan tua dan atau ketika orang muda berbicara pada orang tua adalah "Panjenengan dhahar menapa/punapa?". Dalam bahasa ngoko yang digunakan antara "kalangan bawah" dan orang muda, "Kowe mangan opo?"
Rumit, bukan?
Dampak Sumpah Pemuda
Sumpah Pemuda adalah hasil rumusan Muhammad Yamin pada selembar kertas yang ia sodorkan kepada Soegondo, yang lantas disetujui seluruh perkumpulan pemuda-pemudi.
Ikrar ini kemudian dijadikan asas bagi setiap "perkumpulan kebangsaan Indonesia" dan "disiarkan dalam berbagai surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan".
Dalam perjalanan sejarah, tidak mudah menjadikan bahasa Indonesia sebagai (salah satu) bahasa di forum resmi pemerintahan. Umpama, surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad merilis berita tentang perjuangan penggunaan bahasa Indonesia di Dewan Kota Batavia di halaman satu edisi 4 Januari 1939.Â
Dikutip dari laman bahasawan.id, tokoh Bumiputra Tabrani pada Kongres Bahasa Indonesia di Solo pada Juni 1938, bahkan mengusulkan agar penguasaan bahasa Indonesia dijadikan syarat pengangkatan pejabat dan pegawai.Â
Pada masa penjajahan, memperjuangkan bahasa Indonesia sungguh suatu hal yang tidak mudah. Hal ini menjadi permenungan bagi kita yang hidup di masa kemerdekaan. Sudahkah kita mencintai bahasa Indonesia? Seberapa besar gairah kita mempelajari dan mengutamakan bahasa Indonesia dalam praktik hidup sehari-hari?