Mentari terik dan jalan tak beraspal tak menyurutkan semangat Suster Sari PI dan rekan-rekan muda untuk menempuh perjalanan dengan motor ke sebuah kampung di pelosok Kalimantan Tengah. Kampung itu berjarak hampir 300 km atau enam jam perjalanan dari Palangkaraya.
Tujuan mereka adalah kembali mengunjungi Ibu Kiir. Usianya 58 tahun. Ia punya empat bersaudara. Ibu Kiir adalah anak pertama.
Ibu Kiir adalah penyandang disabilitas pada kedua kakinya. Menurut penuturan Ibu Kiir, waktu masih kelas dua sekolah dasar, ia mandi terlalu lama di sungai. Ia kedinginan, lalu kejang-kejang dan panas tinggi. Akibatnya, kakinya mengecil.Â
Sejak kelas tiga sekolah dasar, ia tak bisa lagi berjalan. Ia tak bisa bekerja seperti orang-orang tanpa disabilitas. Hidup Ibu Kiir bergantung pada belas kasih kerabatnya dan juga banyak orang lain. Ia menerima bantuan dari pemerintah desa. Bila Natal dan Paskah, gereja Katolik setempat memberikan pula bantuan.
Sehari-hari, Ibu Kiir mencuci baju dan memasak sendiri. Jika memerlukan air untuk memasak dan mencuci, ia meminta bantuan para tetangganya. Syukurlah, para tetangganya dengan senang hati membantu mengambilkan air.
Suatu hari, Suster Sari datang bersama Suster Yudit ke pondok Ibu Kiir. Saat memotret untuk mendokumentasikan kondisi pondok, Suster Yudit terperosok saat menginjak kayu yang telah lapuk.
Keadaan ini menggugah kepedulian Suster Sari, para tetangga Ibu Kiir, pemerintah desa setempat, dan para penderma. Para pemerhati ini bersatu hati untuk mencari solusi. Tujuan mereka adalah membuat rumah baru yang layak ditinggali Ibu Kiir. Â
Untuk mengatasi hal ini, tim sepakat untuk memangkas pengeluaran. Alih-alih membeli papan kayu dari dari toko bangunan, tim memanfaatkan pohon kayu yang dimiliki oleh keluarga Ibu Kiir.
Kebetulan, adik Ibu Kiir memiliki keterampilan dalam pertukangan. Tim renovasi membelikan bahan bakar untuk mesin pemotong kayu yang digunakan oleh adik Ibu Kiir. Dengan demikian, kayu hasil tebangan sendiri menjadi bahan untuk membangun rumah.