Alkisah, waktu itu era awal masa kemerdekaan. Kendaraan umum di perdesaan sangat jarang, atau bahkan tidak ada. Kadang-kadang saja ada mobil lewat dan warga melambaikan tangan untuk minta tumpangan.Â
Suatu subuh di pinggiran Yogyakarta, seorang simbok bakul (ibu pedagang) pagi-pagi telah memikul kelapa dan sayuran hasil kebun. Karena sudah berusia lanjut, sang mbok bakul berjalan pelan menyusuri jalan dari desanya ke pasar dekat Tugu Jogja.
Saat itu, dari arah belakang punggung terdengar suara mobil. Tanpa diminta, mobil itu berhenti dekat si mbok bakul. Karena hari masih gelap dan tiada lampu penerangan, sang mbok bakul tidak bisa melihat wajah sang sopir.Â
"Mbok, badhe tindak ten peken, nggih?" tanya sang sopir ramah. Artinya, "Mbok, mau pergi ke pasar, ya?"
Sang mbok mengangguk. Si sopir segera mempersilakan si mbok untuk naik mobilnya.Â
Sepanjang perjalanan, sejauh masih muat, mobil itu berhenti untuk menawarkan tumpangan pada warga yang ingin ke kota.
Tentu saja para wong cilik yang mendapat tumpangan merasa sangat gembira.Â
Selama perjalanan, sang sopir dengan ramah mengajak para penumpang ngobrol soal barang dagangan dan harga di pasar.Â
Singkatnya, soal kehidupan sehari-hari warga desa yang mengais rejeki di pusat kota Yogya.
Saat tiba di pasar, mentari telah terbit. Si mbok bakul merogoh kantongnya, bermaksud memberikan uang untuk sekadar berterima kasih pada sang sopir budiman.
"Niki, Pak, sakdrema atur panuwun kula," kata Mbok bakul. Artinya, "Ini, Pak, sekadar terima kasih dari saya."