Rumah di tepi sungai di ujung utara Kalimantan itu sudah reot. Di rumah panggung itu tinggal tiga orang. Pak Maman (nama samaran) -yang sehat- dan dua putra-putrinya yang menderita gangguan jiwa.
Setiap bulan sekali aku berkunjung ke rumah keluarga itu. Yang membuatku sedih, dua anak Pak Maman yang bernama Jono dan Jeni (juga nama samaran) dipasung oleh warga kampung.
Kata orang, dulu Jono sebenarnya berbaur dengan warga. Ia ikut bermain sepak bola di lapangan kampung. Entah mengapa, suatu ketika ia mengamuk sampai melukai seorang ibu.
Sementara Jeni memang sudah sering mengamuk dan membuat takut warga sehingga keluarganya mengurungnya di rumah. Karena akhirnya dua kakak beradik itu membuat kampung resah, akhirnya mereka dipasung.
Stigma dari Warga
Desas-desus yang beredar, keluarga Pak Maman mendapat kutukan. Entah bagaimana asal-muasal kutukan itu. Yang jelas, kata orang kampung, bukti kutukan itu ialah bahwa kakak-beradik itu akhirnya sama-sama berperilaku tak waras.
Aku yang datang dari luar kampung menilai bahwa pandangan warga itu tak tepat. Bukan karena warga jahat, namun karena kurangnya wawasan mengenai kesehatan jiwa.
Fenomena saudara kandung mengidap penyakit jiwa bisa dijelaskan juga sebagai faktor keturunan yang berkaitan erat dengan genetika, bukan kutukan. Akan tetapi, siapa warga kampung yang tahu pemahaman "modern" ini? Apalagi waktu itu, belum ada akses jaringan telekomunikasi ke kampung itu.
Yang Kulakukan untuk Saudara-Saudari yang Dipasung
Sebulan sekali aku sapa Pak Maman, Joni dan Jeni. Aku merasa kasihan pada mereka semua. Pak Maman sudah lanjut usia. Ia sendiri yang memasak makanan dan memandikan Joni dan Jeni yang sudah dewasa. Untungnya, untuk urusan bahan makanan, seorang putra Pak Maman yang sehat dan bekerja di kampung lain rutin membawakan.
Jeni amat agresif dan reaktif. Meski aku sudah dengan tenang memperkenalkan diri dan menyapa dengan ramah, ia kadang memandangku dengan tatapan mata yang tajam. Kadang ia berteriak-teriak. Pak Maman biasanya lantas mencoba menenangkan Jeni.