Hari Buruh jadi momen yang tepat untuk bercermin diri sebagai majikan: seberapa baik kita memperlakukan karyawan dan karyawati kita?
Beberapa tahun lalu, saya bertugas di sebuah Gereja di suatu kabupaten. Suatu ketika, seorang karyawati muda -yang adalah umat Gereja tempat tugas saya- mengeluh pada saya.
"Saya sering tidak bisa ikut ibadah misa hari Minggu," keluhnya pada saya.
"Lho, kenapa tidak bisa. Minggu kan libur, Mbak?" tanya saya.
"Iya. Tapi hari Minggu saya kadang harus masuk kerja. Bos saya tidak mau tahu. Kalau jatah shift ya harus saya taati," tuturnya.
Mendengar penuturan sang karyawati toko itu, saya menghela nafas panjang.
Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang majikan (yang ternyata juga Katolik) tidak memberi kelonggaran bagi karyawatinya yang Katolik untuk beribadah.
Duh, berarti si Bos tadi gagal total menjadi majikan yang baik.
Kebetulan keluarga kami memiliki usaha kecil-kecilan di rumah. Orang tua saya mempekerjakan sejumlah karyawan dan karyawati. Sebagian besar tak seiman dengan kami.
Sebagaimana seharusnya, dengan segala keterbatasan kami, kami berusaha menjadi keluarga majikan yang baik.
Pernah memang telat menggaji. Pernah pula menyakiti hati karyawan dan karyawati dengan perilaku atau perkataan yang kurang pas.