Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

5 Fakta Unik Rini Sugianto, Animator Film-film Hollywood

21 Maret 2019   07:06 Diperbarui: 24 Maret 2019   20:23 1636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penggemar film-film Hollywood tentu pernah menonton film-film sukses (box office) seperti The Hobbit, Teenage Mutant Ninja Turtles, Avengers, Hunger Games, dan Ready Player One. Film Ready Player One masuk nominasi Oscar tahun ini.

Kalau cermat, di akhir film-film tersebut, muncul nama-nama animator, salah satunya Rini Sugianto. Ia adalah seorang wanita animator asal negara "berflower"(berkembang) Indonesia yang telah dipercaya menggarap animasi aneka film sukses Hollywood.

Lihat karya Rini di laman ini.

Ted 2 karya Rini-dokpri
Ted 2 karya Rini-dokpri
Mari kita simak 5 fakta Rini Sugianto

Pertama: Tak Suka Menggambar

Lho bukankah animator itu tugas utamanya menggambar? Memang benar. Tapi uniknya, sejak kecil Rini tak suka menggambar dengan tangan. Walau tak suka menggambar, Rini kecil sangat suka membaca komik. Komik kesukaannya adalah serial komik Petualangan Tintin, karya kartunis tenar Belgia, Herge. 

Sejak kecil, Rini sudah mengidolai tokoh Tintin, si wartawan berambut jambul yang berpetualang keliling dunia bersama anjingnya, Snowy.  Yang menarik, Rini dewasa akan menjadi salah satu animator komik favoritnya di masa kecil.

Tintin karya Rini-dokpri
Tintin karya Rini-dokpri
Kedua: Arsitek yang Jadi Animator

Rini yang lahir di Lampung pada 3 Januari 1980 tak bercita-cita jadi pekerja seni. Setelah lulus SMA pada tahun 1997,  ia memilih berkuliah di jurusan arsitektur di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. 

Setelah lulus kuliah dan mulai bekerja sebagai arsitek, barulah Rini mengenal dunia animasi. Saat itu, ia "terpaksa" membuat suatu animasi tiga dimensi untuk kepentingan pekerjaannya.

Uniknya, berawal dari "keterpaksaan" itu, Rini justru mulai menyukai dunia animasi. 

"(Saya) memulai belajar animasi dari belajar 3D dulu untuk arsitektur. Setelah itu baru menjalar ke animasi dan mulai merasa kalau animasi itu lebih tepat untuk saya," tuturnya.

Keputusan Rini sudah bulat. Ia akhirnya meninggalkan pekerjaannya sebagai arsitek untuk menekuni profesi baru sebagai animator.

Ketiga: Awalnya Ditentang Keluarga

Ternyata keputusan Rini berpindah profesi itu awalnya ditentang oleh orang tuanya. Kita bisa menduga, apa saja alasan orang tua Rini keberatan dengan rencana alih profesi ini. Mungkin saja, sudah banyak uang diinvestasikan oleh orang tuanya untuk kuliah arsitektur Rini.

Hal lain, profesi animator bukanlah profesi yang populer. Apakah bisa hidup mandiri dan sejahtera dengan menjadi seorang animator? Mungkin ini pertanyaan yang muncul dalam benak orang tua Rini waktu itu.

Syukurlah, perlahan orang tuanya mau memahami kebulatan hati Rini menekuni dunia animasi.

Setelah setahun jadi arsitek, Rini terbang ke Amerika Serikat untuk mendalami teknik animasi. 

Pada tahun 2002, Rini mulai berkuliah sebagai mahasiswi program master dalam bidang animasi di Academy of Arts, San Francisco. 

Kampus ini dikenal sebagai kampus papan atas bagi para calon animator. Lulusan kampus ini umumnya bergabung dengan studio-studio animasi ternama seperti Dreamworks, Pixar, dan Walt Disney.

Keempat: Sempat Sulit Dapat Pekerjaan

Meski lulus dari kampus tenar, Rini tak otomatis langsung mendapat pekerjaan sebagai animator film. Ia akhirnya memilih magang di sejumlah perusahaan pembuat video game, yaitu Stormfront Studio, Offset Software, dan Blur Studio.

Setelah lima tahun magang, Rini akhirnya berhasil diterima di Weta Digital. Perusahaan ini menawarkan pemberian efek-efek visual bagi film-film yang menjadi kliennya. Serial The Lord of The Rings, X-Men, dan Avatar adalah contoh film-film laris yang digarap oleh Weta Digital tempat Rini bekerja.

Setelah berkiprah di Weta Digital, pada 2015 Rini pindah ke Industrial Light & Magic sebagai animator senior selama dua tahun. Per Juni 2017, Rini telah berstatus sebagai animator freelance

salah satu karya Rini-dokpri
salah satu karya Rini-dokpri
Selain The Adventure of Tintin, Rini juga sempat terlibat dalam pengerjaan film-film laris lainnya seperti The Hunger Games: Catching Fire, Iron Man 3, The Hobbit, dan Avengers: Age of Ultron.

Kelima: Kerja Keras di Depan Layar Komputer

Banyak orang mungkin belum tahu betapa kerasnya pekerjaan seorang animator. Membuat animasi satu menit bukan pekerjaan mudah.

“Orangnya (seorang animator) mesti sabar dan bisa duduk di depan komputer berjam-jam,” tutur Rini.

Contoh nyatanya ialah pengalaman Rini mengerjakan 70 shot film The Adventure of Tintin.  70 shot itu berdurasi 4 menit. Rini mengerjakannya selama satu tahun. 

Saat ini, wanita berdarah Lampung itu tinggal di California, Amerika Serikat, untuk melakukan aktivitas pekerjaannya.

Hikmah Kisah Rini

Ada banyak hikmah yang bisa kita petik dari kisah hidup dan perjuangan Rini dalam menekuni dunia animasi.

- Bekerja tak harus sesuai pendidikan awal, begitu melihat peluang baru dan kemampuan diri, sukses bisa diraih dengan ketekunan.

- Perlu perjuangan meyakinkan keluarga mengenai pilihan karier yang "melawan arus" dan tak sesuai harapan orang tua.

- Tidak ada kesuksesan tanpa proses.

- Bekerja keras adalah keharusan untuk mampu bersaing di tingkat dunia.

- Kualitas SDM Indonesia tak kalah dengan asing.

- Sektor industri kreatif menyediakan peluang emas bagi kita.

- Jangan takut menjadi pionir dan menjadi "pembuka jalan".

Sumber: 1234

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun