Suatu pagi di rumah istri napi
Pagi itu hari cerah. Secerah hati saya, teman saya, dan hati seorang suster biarawati yang saya ajak mencari rumah keluarga si napi. Waktu itu kami tak punya ponsel. Tiada peta daring yang bisa membantu kami mencari di mana rumah istri napi.
Dua motor kami menelusuri gang-gang sempit sebuah perkampungan. Setelah tanya sana-sini, akhirnya kami sampai juga ke rumah si istri napi. Sebuah rumah kecil dengan perabot apa adanya.
"Permisi, Bu..."
Dengan ramah si istri napi menyambut kedatangan kami. Bersamanya, ibu mertua dengan setia menemani.Â
Perut si istri napi membuncit. Ia bertutur tentang betapa getirnya situasi yang sedang ia hadapi. Saat anak pertama sebentar lagi lahir, suami tercinta malah terpaksa mendekam di balik jeruji penjara. Si jabang bayi nanti tak akan mendapat cium dari ayahnya.
Si istri mengeluh. Tadinya ia bekerja sebagai buruh cuci. Setelah hamil tua, ia tak bisa lagi bekerja. Barang-barang berharga sudah ia jual untuk menyambung hidup.Â
Hari-hari jelang kelahiran putra perdana yang harusnya bahagia justru jadi hari-hari yang semakin nelangsa.
"Oh, Tuhan...kasihanilah keluarga ini," doa saya waktu itu.
Suster rekan saya memberi beras ala kadarnya. Mungkin hanya cukup untuk beberapa minggu saja. Saya dan teman-teman cuma membawa sedikit uang untuk meringankan beban si istri napi.Â
Kami berpamitan, dengan rasa bersalah yang masih melekat di benak. Kami memang bukan siapa-siapa. Kami hanya orang-orang biasa yang mencoba menghibur sesama saudara yang menderita.