Sebaliknya, apakah orang Indonesia yang nonmuslim lantas tidak sekolah dan bekerja di negara-negara yang berbendera "bulan sabit", seperti Turki dan Malaysia? Sungguh absurd kecemasan tak beralasan akan simbol agama lain ini.
Ketegasan penegak hukum amat dinantikan untuk meredam aksi intoleransi yang sudah tergolong tindakan melanggar hukum, misalnya perusakan makam. Jika tidak ada tindakan hukum yang tegas dan terukur, kita khawatir bahwa oknum tak bertanggung-jawab akan semakin merasa di atas angin.Â
Hemat saya, sebagian besar masyarakat kita sudah cukup dewasa dan menerima bila ada orang yang dihukum karena memang melanggar hukum negara, meskipun tindakan pelanggaran  itu dimotivasi oleh penafsiran keliru tentang ajaran agama.
Mirisnya sebagian besar anggota kelompok intoleran ini adalah generasi muda. Mereka yang mendoktrin paham betul kejiwaan generasi muda yang masih mudah dipengaruhi doktrin-doktrin, apalagi dengan bumbu agama dan janji surga.
Untuk memutus rantai intoleransi ini, pemerintah, khususnya yang mengurusi pendidikan perlu merancang edukasi yang mengedepankan dialog dan toleransi. Adakan kunjungan dan silaturahmi antara sekolah-sekolah bernafas agama.Â
Sudah ada banyak pesantren, misalnya Pesantren Edimancoro di Salatiga, yang melakukan pertandingan persahabatan dan kunjungan ke seminari Katolik, sekolah teologia Kristen, dan sekolah agama Budha. Mengapa pemerintah tidak secara masif mengorganisasi perjumpaan-perjumpaan positif semacam ini?
Hemat saya, silent majority yang menghendaki hidup rukun antarpemeluk agama harus bergerak untuk mempromosikan toleransi dan persaudaraan antarumat beragama. Diam bisa diartikan sebagai sikap ambigu. Ayo, tunjukkan bahwa kita yang sebenarnya majority ini tidak cuma bisa silent, tapi bisa berbuat sesuatu di lingkup masing-masing demi persaudaraan umat beragama di Nusantara. Semoga.
Salam persaudaraan, Kota Abadi, 18 Januari 2019.
Bobby Steven MSF.