Sebenarnya ini berita lama, tetapi karena kesibukan, saya baru sempat menulis dan membagi pikiran saya pada saat ini. Walaupun berita lama, saya masih menganggap tulisan ini masih layak diangkat, karena saya tidak atau belum pernah melihat ataupun mendengar rekan-rekan di dunia maritim berkomentar mengenai hal ini.
Hal ini berkaitan dengan berita cukup besar di beberapa media baik cetak maupun digital yang memberitakan mengenai peresmian “Kapal Tol Laut” yang dilakukan oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada awal Mei 2015. Di badan kapal yang diresmikan terdapat tulisan cukup besar yang berbunyi “Tol Laut”.
Berita tersebut dibumbui dengan kagetnya Pak Menteri atas “besar”-nya ukuran kapal Ro-Ro yang melayani rute Pelabuhan Panjang di Lampung ke Tanjung Perak Surabaya bolak-balik itu.
Saya pernah menulis kekurang-setujuan saya atas istilah Tol Laut, karena jadi mengaburkan makna dari tujuan utama program ambisius ini. Istilah “tol” yang diambil dari bahasa Inggris “toll” yang berarti charge/fee/levy/tariff dan segala jenis pembayaran lainnya tentu berbeda dengan tujuan Jokowi yang memperkenalkan istilah ini untuk membangun koridor laut yang “bebas hambatan”, yang bisa membuat angkutan antar pulau menjadi jauh lebih murah dan bisa diakses dengan mudah. Sehingga saya beranggapan istilah “Jembatan Laut Bebas Hambatan” mungkin lebih cocok digunakan dibandingkan dengan “Tol laut” yang sudah terlanjur memasyarakat.
Kekawatiran saya makin bertambah, setelah dengan meriahnya sang Menteri Perhubungan bersama dengan seluruh jajaran kuncinya, meresmikan sebuah kapal Ro-Ro yang “hanya” berkapasitas 200 kendaraan besar dan kecil, dan menamakannya Tol Laut.
Bagaimana mungkin, kapal Ro-Ro yang hanya berkapasitas 200 kendaraan, mampu menjawab tantangan program angkutan antar pulau agar menjadi lebih murah, efektif dan efisien?
Tahukan anda? Pada bulan Februari 2012 saja (lebih dari 3 tahun yang lalu) jumlah truk yang menyeberang dari pelabuhan Merak ke Bakauheni berjumlah hampir 70 ribu truk per bulannya. Itu tentu di luar bis dan kendaraan pribadi yang jumlahnya juga tidak sedikit.
Sayangnya saya tidak memiliki data berapa jumlah truk yang melewati jalur pantura, tentu angkanya jauh lebih besar dan cukup fantastis.
Berapa kapal yang menurut istilah pemilik dan didukung oleh jajaran Kementrian Perhubungan dinamakan sebagai “Kapal Tol Laut” yang dibutuhkan untuk “membantu” program tersebut? Saya bahkan tidak berani menggunakan istilah “men-subtitusi” karena itu menurut pelawak almarhum Asmuni dari Srimulat adalah suatu “hil yang mustahal”.
Saya pun tidak berani menyentuh masalah biaya, karena sebagai profesional di bisnis pelayaran, tentu tidak etis saya mencoba menghitung ladang rekan sejawat saya, tetapi kapal yang melayani dua keberangkatan dari Pelabuhan Panjang, dan satu dari Pelabuhan Tanjung Perak dan mengenakan tarif (menurut berita yang tertulis) Rp 10 juta sekali jalan untuk truk trailer pastinya tidak murah bila dibandingkan dengan truk tersebut menggunakan kapal Ferry menyeberang dari Bakauheni ke Merak dan lanjut menggunakan jalur pantura ke Surabaya.
Pengusaha sebagai pemilik kapal tentu tidak salah, beliau hanya melihat peluang yang ada, mendapatkan anugerah luar biasa atas promosi kapal Ro-Ro nya. Kesalah-kaprahan ini sepertinya milik pemegang strategi dan kebijakan.