Mohon tunggu...
Bobby Andhika
Bobby Andhika Mohon Tunggu... -

Profesional bisnis perkapalan, pecinta sejarah dan pemerhati masalah sosial. Pernah menduduki jabatan CEO di beberapa perusahaan perkapalan nasional dan internasional. Sekarang tinggal di Singapura.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Memimpikan Perusahaan Pelayaran BUMN Raksasa

30 Oktober 2014   13:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:11 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Memang kita sudah punya PT. Pelni (Persero), PT. Pelayaran Bahtera Adhiguna yang tahun 2011 lalu telah resmi menjadi milik PT. PLN (Persero) dan PT. Djakarta Lloyd (Persero) yang sekarang katanya sedang mengalami kesulitan.

Kita juga memiliki PT Pertamina (Persero) Direktorat Pemasaran dan Niaga – Perkapalan yang mengoperasikan lebih dari 180 kapal tanker beserta 50 lebih kapal tanker yang dimiliki.

Tetapi bergeser sedikit tidak terlalu jauh ke negara tetangga, MISC Berhad (Corporation) milik Malaysia yang lebih muda 9 tahun dari Divisi Perkapalan Pertamina telah jauh berkembang meraksasa meninggalkan sang saudara tua tempat mereka belajar mengenai kapal dan seluk-beluknya.

Neptune Orient Lines (NOL) milik Singapura sebuah negara kota bahkan jauh terlalu besar bila dibandingkan dengan PT. Pelni (Persero), PT. Pelayaran Bahtera Adhiguna dan PT. Djakarta Lloyd (Persero) digabungkan sekalipun.

Apa yang salah dengan perusahaan pelayaran BUMN kita? Dengan suntikan dana penyertaan modal pemerintah yang lumayan besar dari awal berdiri, potensi kargo yang banyak tersedia, proteksi yang diberikan dan tim manajemen yang pasti putra-putri terbaik pilihan yang diseleksi ketat oleh Kementrian BUMN dan departemen teknis terkait, kenapa kita seperti berjalan di tempat kalau tidak bisa dikatakan mundur?

Datuk Nasarudin Md Idris sang CEO MISC dan Ng Yat Chung CEO dari NOL, tidak 2 atau 3 kali lebih pintar dari CEO-CEO di Indonesia (bahkan saya yang bukan siapa-siapa masih berani duduk satu meja untuk berdiskusi soal bisnis perkapalan dengan mereka), tetapi perusahaan yang mereka kelola secara fakta memang berkali-kali lipatnya dibandingkan dengan perusahaan pelayaran BUMN di Indonesia.

Tidak perlu menunjuk hidung apa atau siapa yang salah, karena dengan revolusi mental Jokowi-JK sudah sepatutnya kita meninggalkan kebiasaan lama. Dari pada berlelah-lelah mencari kambing hitam yang tidak tahu apa-apa, mari kita mencari jawaban mampukah atau layakkah kita memiliki BUMN pelayaran raksasa yang mendunia?

Jawabannya harus layak dan harus punya.

Kemauan politik dari orang nomor 1 di Republik ini sudah jelas terucap dan tertulis, yang artinya (seharusnya) akan bermunculan kebijakan-kebijakan yang mendorong perkembangan perusahaan pelayaran nasional, dan BUMN bisa mengambil langkah terdepan untuk memimpin.

Potensi muatan sebagai landasan awal untuk bergerak juga kita miliki, dan banyak diantaranya dikontrol oleh pemerintah. Pada tahun ini saja, PLN membutuhkan batu bara sebanyak 74 juta ton dan akan meningkat mendekati 100 juta ton pada beberapa tahun kedepan; pastinya mayoritas diangkut melalui laut. Pabrik-pabrik pupuk BUMN pada tahun 2012 telah menghasilkan 12.5 juta ton pupuk dan 6 juta ton produk sampingan, yang juga harus diangkut sebagian besar dengan angkutan laut. Masih banyak potensi-potensi kargo lainnya yang bisa digarap dan dijadikan dasar untuk tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Untuk melakukan peremajaan dan pengadaan armada untuk tumbuh dan berkembang, asalkan didukung oleh muatan yang pasti, pada saat ini harga kapal baik baru maupun bekas bisa dikatakan telah menyentuh titik terendahnya.

Pemerintah seharusnya bisa menggerakkan bank-bank BUMN untuk menyisihkan sebagian pengucuran dana kredit investasi dan modal kerja dalam porto-folio mereka untuk sesuatu yang telah menjadi cita-cita dan program nasional.

Apalagi yang dibutuhkan? Manajemen dan tata kelola perusahaan yang baik, didukung oleh kesabaran dan kerja keras yang merupakan bagian dari revolusi mental seharusnya lebih dari cukup sebagai pelengkap.

Memang masih jauh kaki harus melangkah untuk bisa berdiri sejajar dengan raksasa-raksasa yang sudah mendunia. Tetapi kerja keras pasti bisa membuat lompatan pertumbuhan yang eksponensial. Asalkan semua pemangku kepentingan bisa membiarkan manajemen bekerja, jauhkan dari bayang-bayang politik dan kepentingan pribadi maupun golongan.

BUMN Pelayaran Rakasasa bukan hanya mimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun