Mohon tunggu...
Bobby Andhika
Bobby Andhika Mohon Tunggu... -

Profesional bisnis perkapalan, pecinta sejarah dan pemerhati masalah sosial. Pernah menduduki jabatan CEO di beberapa perusahaan perkapalan nasional dan internasional. Sekarang tinggal di Singapura.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Cara Mudah Jadi Gubernur DKI Jakarta

26 November 2014   18:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:47 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Anda berambisi jadi Gubernur DKI Jakarta? Nanti tahun 2017 tentu saja, bukan sekarang, karena kalau anda berambisi menjadi gubernur sekarang menggantikan Ahok, selain resiko anda ditertawakan oleh mayoritas penduduk Jakarta; organisasi yang mengusulkan anda bisa tiba-tiba menjadi ilegal seperti FPI walaupun sudah wara-wiri di Ibu Kota dari tahun 1998.

Saya punya saran jitu yang bisa mengantarkan anda menjadi Gubernur DKI Jakarta ke 18, resepnya adalah yakinkan seyakin-yakinnya kalau perlu sampai sumpah ditampar hantu Si Pitung; bahwa anda punya program yang pasti berhasil untuk mengatasi kemacetan.

Bagaimana dengan banjir? Anda tidak usah terlalu pusing dengan itu, Belanda yang mampu membendung laut di tanah airnya sendiripun tidak mampu membuat Batavia bebas banjir semenjak bercokol dari tahun 1619 sampai diusir Jepang tahun 1942. Dan jaman itu belum ada pejabat yang menerima amplop untuk mendirikan mal, kompleks perkantoran dan perumahan yang sekarang menjamur di Jakarta dan merebut dengan paksa daerah resapan air yang dulu ada.

Walaupun dulu saya pernah belajar ilmu rekayasa lalu lintas di ITB yang katanya universitas (walau bernama Institut) terbaik di Indonesia, tidak perlu saya mengeluarkan ilmu terlalu sulit dan ‘njelimet yang disampaikan oleh dosen-dosen saya dulu untuk memberitahu anda bagaimana cara mudah mengatasi kemacetan.

Hanya ada 2 cara mengatasi kemacetan lalu lintas: kurangi mobil dan perlebar jalan. Prinsip yang sama kalau hidung anda mampet karena produksi kotoran yang berlebihan, kurangi kotoran yang ada di hidung anda dengan cara yang anda suka; atau datang ke dokter bedah plastik untuk memperlebar hidung anda.

Jadi dengan menggunakan prinsip yang saya sebut di atas, langkah pertama sebagai Gubernur adalah kurangi mobil yang ada di jalan-jalan di Jakarta dengan cara yang anda suka.

Mau anda naikkan pajak kendaraan dengan model COE (Certificate of Entilement) seperti di Singapura yang mengakibatkan harga Honda City terbaru yang di Jakarta dijual Rp 279 – 323 juta, menjadi  Rp 1.1 Milyar saja; atau model diktator seperti Kim Jong Un, sekali lagi terserah anda.

Masalah nanti anda dijadikan target oleh Yakuza atas perintah raksasa industri otomotif Jepang atau preman-preman sisa-sisa dari Mafia Migas yang coba diberantas oleh Pak Faisal Basri, itu resiko anda kenapa berambisi jadi Gubernur DKI. Beda kalau yang mengancam anda oknum-oknum pemerintah baik pusat maupun daerah yang entah bagaimana caranya merasa kehilangan pendapatan karena penurunan jumlah mobil, anda tinggal ngadu lewat sosial media dan ke KPK mudah-mudahan sebelum diturunkan anda sudah keburu jadi Presiden.

Untuk alternatif kedua melebarkan jalan, saya tidak begitu menyarakan. Selain biayanya sangat mahal, jauh lebih mahal dari operasi plastik hidung artis Korea, anda tidak akan mungkin bisa menang berlomba antara melebarkan jalan dengan pertumbuhan jumlah mobil.

Sebagai mana manusia yang secara alami berhenti tumbuh setelah menginjak usia dewasa, pertumbuhan lebar/panjang jalan juga akan tertahan seiring dengan habisnya lahan. Anda tidak mungkin membuat jalan vertikal ke bawah atau ke atas, karena di bawah cuma ada lumpur panas seperti lumpur Lapindo dan di atas cuma ada awan dan tidak ada negeri seperti igauan Katon Bagaskara.

Kalau anda tidak sanggup menjalankan 2 hal di atas, mengurangi jumlah mobil atau memperlebar jalan, tetapi masih berambisi jadi Gubernur DKI Jakarta, saya punya saran lain yang saya sebut sebagai Plan B sesuai dengan huruf awal nama saya dan plat mobil Jakarta.

Plan B itu berbunyi: “Jakarta macet? Emang gue pikirin??”

Ya nggak usah capek-capek buang energi memikirkan kemacetan Jakarta, biarkan saja Jakarta macet, nanti juga mereka lelah sendiri. Sama kayak gatal, semakin digaruk semakin gatal, begitu juga macet, semakin dipikirkan akan semakin macet.

Familiar dengan kebijakan 3 in 1 warisan Bang Yos? Tujuan dari kebijakan tersebut adalah memaksa para pekerja kantoran yang berkantor di jalan-jalan utama untuk melakukan Car Pooling dari rumah menuju ke kantor, sehingga mengurangi jumlah kendaraan. Tetapi apa mau dikata, tetangga satu komplek yang akrab kantornya berbeda, waktu pergi atau pulangnya berbeda, urusannya berbeda, jadi tetap saja bawa mobil sendiri-sendiri. Jadi kebijakan 3 in 1 sukses membuat lengang jalan protokol yang lebar-lebar (sekali lagi yang lebar-lebar) pada pagi hari dan memaksa ribuan kendaraan lewat jalan tikus yang sempit-sempit (sekali lagi yang sempit-sempit) untuk menghindari jalan yang sekali lagi lebar-lebar tersebut.

Kalau saya tanya anak SD di SDN Pejaten Barat 08 PG yang berlokasi di dekat rumah saya di Jakarta dulu, apa akibatnya kalau mobil disuruh lewat jalan sempit dan dilarang lewat jalan lebar? Jawabnya pasti: “Tambah macet kakaaak….!”

Sibukkan waktu, tumpahkan pikiran dan alokasikan dana yang anda punya ke transportasi publik. Tidak usah sisihkan secuilpun untuk kemacetan Jakarta.

Buat kereta bawah tanah, atas tanah, melayang di atas tanah, tergantung di atas tanah atau apapun bentuknya. Karena cuma kereta yang memenuhi sarat sebagai angkutan masal. Hanya kereta yang mampu mengangkut ratusan atau ribuan sekali jalan dengan model pantat ketemu pantat, hidung ketemu ketek seperti di Commuter Line.

Perbanyak bis-bis sebagai pelengkap. Boleh beli di China, tetapi jangan beli yang KW, nggak usah pakai calo, datang saja langsung ke sana, tidak sampai ratusan kok pabrik bus di sana, sebulan juga selesai; bisa sambil jalan-jalan ke tembok China pakai biaya pemda.

Kalau ada warga anda yang protes karena macet, suruh naik kereta dan bis yang anda beli. Kalau nggak mau juga, suruh ke Bandung siapa tahu Kang Emil mau menampung atau ke Surabaya biar dimarahi sama Bu Risma.

Apakah Plan B akan berhasil membawa anda menjadi Gubernur DKI Jakarta ke 18 dan mengalahkan Ahok yang mungkin akan mencalonkan diri kembali? Mungkin saja, toh warga Jakarta terlalu lelah menunggu dan terlalu banyak menghirup gas buangan kendaraan, siapa tahu mereka suka dengan orang gila seperti anda, pilkada masih lama, UU nya belum jelas, sudah mikir mau jadi gubernur.

Singapura, 26 November 2014

PS. Pak Ahok, studi banding ke sini aja, naik ekonomi Garuda cuma 200-an dollar pulang-pergi, nanti saya ajak makan Nasi Lemak seperti yang dimakan Pak Presiden Jokowi, kita naik bis atau MRT…. Kalau mau implementasi kebijakan juga mudah, orang Jakarta sudah sangat familiar dengan peraturan di Singapura buktinya mereka senang naik MRT kalau kesini……

.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun