Walaupun pernah mengenyam pendidikan di jurusan Teknik Transportasi ITB dan mengikuti kuliah luar biasa menarik dari begawan-begawan transportasi di kampus yang katanya terbaik di Indonesia itu, saya menulis bukan sebagai ahli transportasi darat, karena sebagaimana kata sahabat saya pada saat kuliah dulu, untuk urusan ini kami berdua sama:
“Dulu pas kuliah nggak ngerti, sekarang setelah menjelang tua lupa”
Saya menulis hanya dengan menggunakan logika orang awam yang sederhana, karena kadang-kadang atau bahkan “most of the time”, persoalan yang terlihat sebegitu rumitnya bisa selesai dengan solusi yang sangat sederhana.
Kita semua tahu, mengalahkan banjir yang datangnya musiman, macet adalah masalah nomer wahid di Jakarta, karena masalah ini tidak mengenal musim, tidak mengenal waktu dan yang paling menyedihkan tidak mengenal perasaan. Dia tidak perduli perasaan seorang remaja yang galau tidak karuan karena terlambat datang menjemput pacarnya karena macet, tidak pernah mau mengerti betapa paniknya seseorang yang menahan buang air di tengah-tengah lautan mobil yang parkir berjamaah di tengah jalan, dan dia juga tidak mau mengerti perasaaan “voorijder” yang sebenarnya tidak enak hati disumpahi pengguna jalan lainnya demi membuka jalan untuk “tuan”-nya.
Banyak orang berteori tingkat tinggi yang memusingkan banyak orang awam seperti saya mengenai penyebab kemacetan. Pemikiran saya, penyebab kemacetan itu sederhana, sama dengan mengosongkan air dari bak dengan pipa, kalau airnya sedikit, dengan pipa berdiamater kecil pun air akan cepat kosong. Kalau airnya banyak, tentu dibutuhkan pipa dengan diameter lebih besar. Yang jadi masalah adalah, kalau airnya banyak, tetapi pipanya berdiamater kecil, airnya akan lama keluar, air-air itu akan tertahan di bak, bergerombol di sana mengakibatkan “keruwetan”.
Sekarang mari kita bayangkan, air itu adalah jumlah kendaraan, dan pipa itu adalah ruas jalan yang terdapat di Jakarta.
Kalau kita bisa membayangkan itu, saya rasa, tidak perlu belasan atau puluhan Prof. Dr. Ir. Msc Phd untuk menemukan solusi kemacetan Jakarta.
Cara pertama adalah dengan mengurangi volume air atau dalam hal ini jumlah kendaraan. Tetapi tidak dengan merampas hak asasi manusia untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Caranya ya dengan memberikan moda transportasi untuk bergerak yang efektif dan efisien, yang tidak membutuhkan jumlah kendaraan yang banyak, tetapi bisa memindahkan manusia lebih banyak.
Apa kata anda? Ya betul, angkutan massal. Angkutan massal itu bukan ojek atau bajaj yang hanya bisa mengangkut 1 atau 2 orang, tetapi kereta dan bus yang bisa mengangkut ratusan dan ribuan orang. Ya, kita sudah punya dan bahkan sekarang sedang membangung kereta bawah tanah.
Tetapi kekurangan terbesar yang saya perhatikan di perencanaan angkutan massal adalah, masalah rute yang terputus dan integrasi. Mau contoh? Bus Transjakarta koridor 6 yang melayani rute selatan ke utara, berawal dari Ragunan. Anda tahu ada apa di Ragunan? Ya ada monyet, gajah, jerapah dan kawan-kawannya, mereka tidak perlu berangkat kerja ke Kuningan. Yang perlu berangkat kerja dari selatan ke utara adalah manusia-manusia yang tinggal di Depok, Lenteng Agung, Pasar Minggu dan sekitarnya. Bagaimana manusia-manusia di Depok mencapai Ragunan? Ahok sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di hirarki Bus Transjakarta mungkin akan berkata, “Emang urusan gue? Itu urusan Aher atau Nur Mahmudi!”.
Dan anda tahu, apa angkutan massal yang paralel dengan Bus Transjakarta Koridor 6? Ya betul, KRL dari Bogor ke arah utara. Anda tahu berapa halte Bus Transjakarta yang terintegrasi dengan stasiun KRL tersebut? Jangan tertawa, nanti anda dimaki oleh Ahok yang sedang sensitif karena masalah Kampung Pulo dan akan banyak pejabat yang dimutasi.