Selayang Pandang Lain dari Video Hansol Tentang S1
Adalah Video berjudul "Yang Merasa S1 Gak Penting Tonton Video Ini Dulu" yang memotivasi saya untuk menulis artikel ini. Hansol adalah nama pemilik akun Korea Reomit yang mengunggah video itu di youtube. Video tersebut telah ditonton hampir satu juta (saat tulisan ini disunting).
Inti dari video tersebut mengajak para pemuda yang berusia 20 tahun-an untuk mempertimbangkan pentingnya kuliah. Hansol orang korea yang medok (berbahasa jawa) ini mengambil perspektif orang tua untuk menggambarkan keadaan kalau kita ingin hidup sukses kelak, yang mana sukses secara ekonomi, kita harus kuliah S1.
Tapi bukan hanya kuliah S1 saja, Hansol juga mengatakan bahwa penontonnya, yang rata-rata berumur 20-29 itu sebaiknya kuliah di universitas terbaik. Dalam hal ini, ia mencontohkan University National Seoul atau Universitas Negeri Seoul yang pernah mendapat pringkat 7 universitas terbaik sedunia.
Masalahnya, kata Hansol, adalah untuk mencapai situ tidak mudah. Perjuangan, dan pengorbanan waktu dan tenaga harus tercurahkan secara penuh untuk mendapat gelar sarjana di universitas bergengsi tersebut.Â
"Siswa Korea itu dari pagi sampai malam terus menerus belajar. Belum lagi bimbel sampai pagi hari. Mereka tidur sebentar subuh baru bangun dan belajar lagi," ujar pria yang menguasai tiga bahasa tersebut.
Untuk apa kita harus masuk ke universitas tersebut dengan susah payah? Jawabannya satu. Menurut Hansol, kalau kita masuk universitas terbaik itu -- kalau di Indonesia mungkin UI, UGM, IPB lah -- karir kita akan mudah. Maksudnya, kita akan lebih gampang diterima masuk perusahaan yang bergengsi dan gaji yang bombastis pastinya jika dibandingkan dengan mereka yang universitasnya gak jelas.
Bukan hanya itu, meskipun nanti para lulusan Universitas terbaik itu berakhir menjadi pengangguran. Kata Hansol, secara sosial mereka tidak malu-maluin. In another word, mereka masih punya wibawa ketika dipandang masyarakat umum jika dibanding mereka yang kuliah di universitas tak dikenal atau bahkan yang tidak kuliah.
Penjelasan Hansol memang menawan. Namun, satu yang perlu digarisbawahi, yakni Hansol dalam videonya sering menggunakan pendapat  orang lain untuk merujuk pada kesuksesan dan kebahagiaan seseorang. Seperti contoh diatas, dan masih banyak lagi ujaran dalam videonya yang seolah-olah kalau hidup sukses itu bukan karena kita yang ingin untuk itu tapi sukses biar gak "takut" jika dipandang orang lain. Emang ini hidup sono bukan hidup kite? Mungkin itu yang akan ditanyakan orang Betawi.Â
Memang perlu, untuk bekerja kelak kita pasti membutuhkan pandangan orang lain. Hansol sukses mengibaratkan keadaan tersebut begini: suatu HRD pasti juga ingin tau kita alumni universitas mana dan pernah aktif sebagai apa dan bla bla bla atau yang saya ringkas sebagai CV (Curriculum Vitae).
Masuk universitas terbaik, menjadi pekerja dengan gaji yang besar dan di perusahaan multi-nasional adalah impian semua orang, memang. Dagangan Hansol laris manis, karena itu memang yang dibutuhkan manusia-manusia umur 20-an seperti saya yang galau mau kerja di mana dan esok mau ngapain.
Mengapa orang, sekarang, bermimpi untuk menggapai apa yang dikatakan Hansol dalam videonya tersebut? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah mereka tidak ingin hidup dalam kesengsaraan. Atau, orang tua kita tak mau anak-anaknya menjalani hidup seperti Jhon Snow yang sengsara mulu dalam Game of Thrones. Satu hal yang penting, uang dalam hal ini gaji pekerja diibaratkan, secara implisit, sebagai the source of happiness atau sumber kebahagiaan. Ya kan? Gini aja. Kamu dapat uang untuk nyaman, kalau nyaman berarti kamu bahagia dan tidak sengsara. Iya.
Penulis juga memikirkan hal tersebut, penulis kenapa galau, penulis kenapa menulis artikel ini? Ya karena ingin dipandang pintar kalau pintar dapat duit, kalau dapat duit nanti bisa bahagia beli ini dan itu. Begitu penjelasan singkatnya.
Melihat video Hansol membuat penulis, memang jadi termotivasi, tapi juga membuat penulis begitu risau dan bertanya-tanya? Apakah iya dengan mengorbankan waktu dan tenaga pada masa kuliah dan mendapat gaji yang besar ,kelak ketika bekerja, membuat kita sufficiently happy? I dont completely think so.
Ini yang kurang dari penjelasan Hansol dan perlu dicatat oleh beberapa penonton Hansol yang sudah terlanjur termotivasi pakai banget dengan sosok ganteng tersebut.Â
Sekarang Gross Domestic Product (GDP) bukan menjadi acuan penting bagi suatu negara. Kenapa? Karena sekarang ada yang baru. Yakni GDH atau Gross Domestic Happiness. Ini nyata. Pakar ekonomi, politisi, dan beberapa pemikir telah mempertimbangakn untuk mengganti GDP dengan GDH. Wow.Â
Negara sekelas Singapura GDPnya tak perlu ditanyakan lagi. Rata-rata orang Singapura menghasilkan kurang lebih $56.000 dollar setahun. Bandingkan dengan negara seperti Costarica yang orang-orangnya cuma bisa memproduksi $13.000 setahun.
Namun, yang mencenangkan, jika diliat GDHnya atau acuan kebahagiaan atau kepuasaan hidup orang di suatu negara. Costarica lebih tinggi dari Singapura.Â
Memang benar uang yang diterima dari gaji ini adalah alat untuk membahagiakan diri kita tapi, itu tidaklah cukup.
Sekarang pertanyaannya begini? Kalian ingin menghabiskan hidup di dunia dengan bahagia dan tak depressi atau anxiety, atau mati dalam keadaan kaya tapi hidup dipenuhi dengan penderitaan? Ya pilih yang bahagia dan hidup kaya tanpa penderitaan. Nyari saja mertua yang kaya, gak usah belajar dan nikahi anaknya. Done heuheu~.
Lanjut lagi, begini teman-teman, kalau kata Yuval Noah Harrari sih, bahagia atau sedih itu bukan karena kita mendapatkan pekerjaan yang layak, diterima di suatu universitas bergengsi atau ditolak pekerjaan, dan calon mertua. Itu semua hanyalah kejadian yang membuat otak kita mengeluarkan sensasi kebahagiaan atau kata Noah itu adalah proses biokimia dalam diri kita. Intinya, kebahagiaan itu bukan dari  kejadian-kejadian tersebut tapi dari dalam diri kita menanggapi suatu fenomena.
Ketika kita mendapatkan pekerjaan yang baik otak kita mengeluarkan sensasi kebahagiaan di otak kau melalui proses biokimia (Saya gak mau jelasin teknisnya, mending baca aja Homo Deus halaman 25). Begitu juga menerima kesedihan itu juga otak kita mengeluarkan sensasi yang membuat kita depressi dan bersedih.
Kalian ingin contoh lagi. Mudah kok, kenapa sekarang kalau orang kaya seperti artis seperti artis, pengusaha, dan politisi yang bisa menjadi bahagia dengan uangnya masih membeli narkoba atau anti-depressan? Jawabannya ya karena obat itu membuat kehidupan mereka seolah-olah melayang dan tanpa masalah. Wow, ini jadi cuma masalah proses biokimia dalam otak iya.
Hansol bukan salah seratus persen, penulis disini juga bukan benar seratus persen. Hansol juga ada benarnya, masyarakat kita memang sudah memandang orang dari pendidikan, dan ekonominya. Kalau Hansol, implicitly, menginginkan kita untuk mengikuti arus tersebut dengan belajar dan mendapat pekerjaan yang baik dan kemudian dipandang oleh masyarakat dan hidup bahagia. Saya hanya ingin menambahkan ketahuilah bahwa hidup harus sawang sinawang. Ketahui potensi mu ketahui batasmu dan try to live with it ‘cause happiness comes from the way you look at an every event and occasions.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H