Mohon tunggu...
Mahbub Junaedi
Mahbub Junaedi Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya seorang wiraswasta yang sedang merintis usaha, dan sedang menekuni dunia menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Saksi Perjalananku

15 Mei 2012   10:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:16 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

kusuka cara kau mengikuti, membuntuti dengan diam-terkesiap dan malu-termangu, lalu aku tergugu dan kau tergagap dalam langkah. Saat  berjalan lagi, dengan berhati-hati kau telusuri sambil berjingkit mengungkit kenangan, sesekali melihat ke arahku pada tenggat waktu sesaat,  tak sempat berpaling, hanya mengerling di ekor mata yang berair karena terharu dengan kegigihanmu,  hingga pipimu bersemu merah karena terik mentari pada tarikh kabisat agar tak tersesat dalam jejak.

Sepanjang trotoar klakson kendaraan berkoar sangar, kutak peduli, seperti buli-buli yang tergantung dipinggang bergoyang mengikuti langkah, manakala kuendus aroma anggur memabukkan, tergiur dengan tenggak yang paling puncak dan mustahak tersadar kembali dalam kadar yang paling pendar cahaya Ilahi, sambil teringat kembali saat  masih mengikutiku  semakin mendekat aku hampir terperosok dalam tubir berdinding terjal, justru kau menahan tanganku yang membentang dengan mata nyalang.

Duh, aku hampir teperosok pada sesosok yang menohok keimananku dengan iming-iming, aku bergeming sebelum mencoba mengulumku dengan kata-kata puitis, mencoba menepis  lapar kau sodorkan petis, lunglai  terduduk di kedai pinggir badai, karena angin begitu keras menerpa pias wajahku, wajarlah kau begitu cemas takut terhempas pada angin yang lepas dari kendali-kekangmu, lihatlah raut mukamu getir menahan khawatir mengusik ibaku menelisik  pedulimu, padahal ku tak ingin diiring dingin wajahmu, karena saat butuh hangat hadirmu, langkahku terus mencari arus, arah yang kau perah dari benakmu.

kutergagap saat kau tutup tingkap di kamar yang kita inap  sebentar, sambil merebah-lelah melolosi penat yang sangat dari perjalanan tak lempang, sebelum keburu kejang menahan keranjang  berderit sengit, mataku nyalang menatap langit-langit tak beratap, sulit untuk mengedip dalam sekejap, menerawang dalam langlang yang bentang, kaupun mengingatkan jalan pulang melebihi pungkasi urusanmu, aku beranjak sejenak,  kuputuskan bangkit untuk berjalan lagi, dan kaupun tetap membuntuti sampai aku semakin terlucuti saat kauikuti.

Mahbub Junaedi

Bumiayu, 12 Mei 2012, 01:50

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun