Mohon tunggu...
Bob S. Effendi
Bob S. Effendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Energi

Konsultan Energi, Pengurus KADIN dan Pokja ESDM KEIN

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

BPPT Sebut Indonesia Darurat Energi dan Butuh 8.000 MW PLTN

28 September 2018   13:44 Diperbarui: 2 Oktober 2018   10:48 2167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 "Indonesia Darurat Energi : Indonesia selalu di dengungkan sebagai negeri kaya energi. Nyatanya, sebagian kebutuhan energi fosil kini bergantung pada import. Ketahanan bangsa pun terancam".

Demikian yang di sampaikan oleh Kepala BPPT, Unggul Priyanto pada peluncuran buku "Perspektif, Potensi, dan Cadangan Energi Indonesia", hari Selasa (25/09/2018) di Gedung BPPT. Kalimat tersebut menjadi artikel dalam Kompas di halaman 10 keesokan harinya.

Kedaruratan itu bukan dari besarnya import energi, melainkan ketidakmampuan warga membayar energi sesuai harga kewajaran, menurut Nanang Untung ketua Pembina Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insyinur  Indonesia (Kompas, 09/26/2018).  Ketua Umum KADIN, Rosan Roeslani mengatakan bahwa harga listrik dan gas masih terlalu tinggi sehingga mengghambat produktifitas  industri (KataData, 27/11/2017). Hal ini menunjukan bahwa tarif listrik di Indonesia tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat dan industri.

Menurut BPPT untuk menopang besarnya kebutuhan industri , jenis EBT yang paling memenuhi syarat ialah energi Nuklir. Bahkan dalam BPPT Energy Outlook 2018 (gambar 1) yang juga di rilis pada saat itu di perkirakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 6% - 7% sesuai target RPJPN di butuhkan di bangun 8000 MW PLTN sampai 2050.

Gambar.1 - BPPT Energy Outlook 2018, hal 44.
Gambar.1 - BPPT Energy Outlook 2018, hal 44.
Fakta, bahwa ketahanan energi Indonesia sulit tercapai tanpa masuknya Nuklir dalam bauran energi sebenarnya sudah cukup lama di kaji dalam berbagai dokumen bahkan Perpres No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Nuklir masuk dalam buaran energi yang dituangkan dalam Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2006 - 2025 dimana rencanakan sampai 2025 di butuhkan 4200 MW PLTN dan PLTN bertama beroperasi pada tahun 2016. Beberapa kajian PLTN lainnya antara lain:
  • ESDM (2006), "Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2006 - 2025" (BP-PEN) -- Mengusulkan 4200 MW PLTN sampai 2025 (gambar 2)
  • BIN (2015) Badan Intelijen Negara, "Ketahanan Energi Indonesia 2015 -- 2025: Tantangan dan Harapan". -- Mengusulkan 4000 MW PLTN pada 2025.
  • BPPT, "BPPT Energy Outlook" (2015, 2016, 2017, 2018) - selama 5 tahun secara konsisten BPPT mengusulkan PLTN di butuhkan, walaupun kapan masuknya mundur terus.
  • ESDM (2015), "Buku Putih PLTN 5000 MW", 2015 - Mengusulkan 5000 MW PLTN pada 2025.

Gambar 2 - lampiran PERPRES No 5/2006
Gambar 2 - lampiran PERPRES No 5/2006
Kebijakan pemanfaatan energi Nuklir kemudian di perkuat oleh UU N0 17 tahun 2007 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dimana di amanatkan bahwa PLTN di bangun pada tahun 2019 dan beroperasi pada tahun 2025. Seharusnya landasan UU tersebut sudah cukup kuat tetapi pro-kontra yang tidak mendasar bahkan berdasarkan informasi yang menyesatkan membuat rencana persiapan pembangunan PLTN terus mundur.

Komisi VII DPR RI menurut pengakuan Kurtubi, terus mendesak pemerintah untuk segera melakukan persiapan untuk pembangunan PLTN. Demikian pula, Nur Pamudji, mantan Direktur Utama PLN merasa bahwa PLTN adalah pilihan yang tepat. Begitu juga Direktur Utama PLN, Sofyan Basyir yang mengatakan lebih memilih PLTN dari pada lainnya bila di ijinkan Pemerintah, seperti di kutip DetikFinance (30/05/2016).

Menteri ESDM Sudirman Said dalam sambutan Buku Putih PLTN 5000 MW mengatakan dengan sangat jelas "Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, telah diamanatkan untuk memanfaatkan PLTN dengan pertimbangan keselamatan secara ketat. Dan berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan pada tahun 2014, berupa simulasi awal prakiraan produksi energi listrik dan bauran energi pembangkitan tenaga listrik hingga tahun 2045 akan dibutuhkan PLTN sebesar 5.000 MW pada tahun 2024-2025" -- Disayangkan dokumen ini karena alasan yang tidak jelas tidak pernah di rilis.

Pertanyaan Mendasar

Bila di telisik ada tiga (3) pertanyaan mendasar di benak seluruh pejabat kementrian/Lembaga yang membuat gamang K/L dalam mengambil keputusan perihal PLTN. Walaupun bila di lihat dari berbagai dokumen di atas sebenarnya sudah terjawab semua.

Apakah pembangunan PLTN memiliki dasar hukum yang kuat ? - Dari masuknya PLTN dalam Perpres No. 5 tahun 2006 dan UU No 17 tahun 2007 sudah sangat jelas. Bahkan Kajian Kebijakan Bapenenas No 2 tahun 2016 mengatakan pembangunan PLTN sudah memiliki landasan hukum yang kuat. Hanya saja kata opsi terakhir dalam PP 79  selalu membuat ESDM gamang, padahal dalam penjelasan sangat jelas opsi itu terbuka bila telah di lakukan kajian dan tentunya sebuah PP tidak dapat melanggar UU yang telah mengamanatkan PLTN di bangun.

Apakah PLTN di butuhkan ? -- Jelas dari berbagai dokumen PLTN di butuhkan dari sisi pasok energi dan ketahanan energi. Demikian pula yang di sampaikan oleh BPPT dan ESDM dalam berbagai dokumen diatas. -- Sejak 2006 ketika  PLTN dalam dalam Blueprint PEN (Perpres No 5 tahun 2006) tidak ada yang penambahan yang signifikan dari cadangan minyak, gas dan batubara bahkan penemuan baru minyak terus merosot (Reserved Replacement Ratio hanya dibawah 50%) sementara pertumbuhan penduduk secara konstan tumbuh 1,5% per tahun artinya kebutuhan energi akan terus tumbuh. Dengan kata lain bila pada tahun 2006 di prediksi Indonesia butuh 4200 MW PLTN maka seharusnya tidak ada perubahan bahkan mungkin naik. 

Atau dengan sederhana kita dapat lihat apa yang di sampaikan oleh Menteri ESDM (gambar 3) , dalam kata sambutan Buku Putih PLTN 5000 MW , bahwa Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan telah mengkaji anatara kebutuhan dan pasok listrik dengan memakai program simulasi dan hasilnya dibutuhkan PLTN 5000 MW pada 2025. 

Gambar 3 - Sambutan menteri ESDM pada Buku Putih PLTN 5000 MW
Gambar 3 - Sambutan menteri ESDM pada Buku Putih PLTN 5000 MW
Prof. Herman Agutiawan, dosen ketahanan energi UNHAN dan mantan anggota DEN, mengatakan dalam beberapa tulisan, untuk mencapai tingkat kesejahteraan setiap orang perlu mengkonsumsi energi 10 Kwh per hari maka dalam 1 tahun seseorang butuh 3650 kwh/ tahun sebagaimana Malaysia yang saat ini sudah tembus 4000 kwh/kapita. - Artinya Indonesia butuh membangun kapasitas 4X dari kepasitas yang saat ini terpasang, sedikit di bawah 60 GW. Bila kapasitas tambahan untuk mencapai 3650 KWh di lakukan dalam 20 tahun maka di butuhkan tambahan kapasitas 12 - 15 GW per tahun selama 20 tahun. Sementara kemampuan saat ini hanya 4 - 5 GW per tahun. Inilah mengapa di butuhkan PLTN dari sisi pasok energi.

Apakah Indonesia sudah siap membangun dan mengoperasikan PLTN? Banyak yang tidak sadar bahwa Indonesia selama lebih dari 40 tahun telah mengoperasikan 3 reaktor Nuklir (Bandung, Jogya dan Serpong) dengan aman dan selamat. Bahkan banyak yang tidak tahu bahwa di tengah kota bandung dan Jogya beroperasi reaktor Nuklir. Kemudian pada tahun 2009 Badan Atom Dunia (IAEA) telah menyelesaikan misi evaluasi terhadap 21 parameter tentang kesiapan Indonesia dan hasilnya, Indonesia hanya kurang 2 parameter yaitu : Posisi Nasional (atau keptusan Presiden) dan Membentuk Badan Pelaksana Persiapan Pembangunan PLTN (NEPIO). Selebihnya Infrastrutur dan suprastruktur Nuklir Indonesia di anggap sudah lengkap dan sudah siap.

Mengapa PLTN di butuhkan (Aspek Ekonomi)

Memang betul dengan pertumbuhan ekonomi saat ini yang hanya 5,2% maka kapasitas pasok energi masih dalam keadaan cukup bahkan dari sisi kelistrikan mungkin berlebih, khususnya di Jawa tetapi tidak di luar Jawa. Tetapi apakah Indonesia akan terus tumbuh di bawah 6% ? Tentu tidak.

Ketika pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 6% yang di prediksi akan terjadi dalam kurun waktu 5 - 7 tahun maka kapasitas pasok energi tidak akan mencukupi. -- Saat itulah terjadinya darurat energi sebagaimana disampaikan oleh Kepala BPPT.

Tantangan permasalahan energi nasional bukan hanya persoalan pasok energi, khususya untuk aspek kelistrikan. Ada beberapa tantangan yang harus di jawab bila listrik di harapakan menjadi driver pertumbuhan ekonomi. yaitu :

Menurunkan tarif listrik: tarif listrik Indonesia tidak terjangkau bagi masyarakat dan industri relatif terhadap GDP perkapita. - Hal ini juga di akui oleh menteri ESDM yang berkerja keras untuk menurunkan BPP. Sebagai contoh, tarif yang di bayarkan oleh masyarakat Rp1300 Kwh dengan pendapatan rata-rata Rp 40 juta per tahun hampir sama dengan tarif listrik yang di bayarkan oleh masyarakat Amerika yang berpendapatan Rp 500 juta per tahun (Gambar 4).

Gambar 4 - tarif listrik yang terus naik
Gambar 4 - tarif listrik yang terus naik
Melepaskan ekonomi dari volatilitas bahan bakar fossil: karena hampir 75% bahan bakar pembangkit adalah bahan bakar fossil sementara komponen O&M + bahan bakar dapat mencapai sekitar 50% untuk batubara  bahkan untuk gas bisa mencapai 70% maka perubahan harga bahan bakar akan memperngaruhi BPP. Harga bahan  bakar fossil (batubara, minyak dan gas) yang terus berubah (volatile) mengikuti pasar menyebabkan tidak dapatnya terprediksi subisidi energi dalam APBN dan pada akhirnya menyebabkan beban bagi APBN dan masyarakat.  -- Biaya O&M + bahan bakar untuk PLTN kurang dari 5% maka perubahan harga uranium atau thorium tidak akan mempengaruhi baia produksi.

Ketika harga batubara naik tembus $100 per ton pada 2017, laba PLN tergerus Rp 17 triliun yang akhirnya menyebabkan ESDM mengeluarkan kebijakan DMO di level $70 untuk menyelamatan PLN. Tetapi kebijakan DMO ini istilahnya maju-kena-mundur-kena, karena Kementerian Keuangan kehilangan Rp 5 - 7 Triliun dari pajak dan PNBP. - Dengan kata lain ekonomi Indonesia tersandera dengan naik turunnya harga batubara.

dokpri
dokpri
Membangun Kapasitas skala besar: Untuk mencapai target kapasitas terpasang sesuai rencana pembangunanyang tercantum dalam RUEN (Perpres No 22 tahun 2017) dibutuhkan kapasitas terpasang 430,000 MW pada tahun 2050. Untuk mencapai itu maka setiap tahun perlu terpasang  10,000 - 12,000 MW per tahun, sementara selama 20 tahun Indonesia hanya mampu membangun rata-rata 4 - 5 GW per tahun. 

Oleh sebab itu di butuhkan pembangkit listrik skala GigaWatt dalam skala besar yang dapat di tingkatkan kapasitasnya dalam waktu cepat. - Bila kita mengaca kepada china yang membangun 77 GW per tahun dengan populasi 1,5 Milyar maka bila Indonesia dengan populasi 260 juta ingin tumbuh dengan kecepatan seperti  China seharusnya membangun sekitar 15 - 18 GW per tahun.

Menggantikan bahan bakar Fossil yang menipis: Menurut laporan Asosiasi penambang Batubara berdasarkan kajian yang di lakukan oleh PriceWater House Copper (PWC), batubara Indonesia hanya cukup sampai tahun 2033.  Dari berbagai kajian yang di lakukan oleh BPPT, yang tertulis dalam BPPT Energy Outlook 2016, Indonesia pada tahun 2029 akan menjadi net importir energi dan  total cadangan fossil (batubara, minyak dan gas) tidak akan mencukupi sampai 2040.  Artinya pada tahun 2040 Indonesia harus mengimpor hampir 70% dari energi primer bukanlah sebuah masa depan yang baik bagi pertumbuhan ekonomi. - Bila itu terjadi maka cita-cita kedaulatan energi dapat di pastikan tidak tercapai.

Pilihan yang paling masuk diakal dibanding mengimport batubara adalah menggantikan batubara dengan nuklir. Untuk itu persiapan harus di lakukan dari sekarang.

Mencapai target EBT 23% pada tahun 2025: Untuk mencapai target 23% EBT atau setara dengan 45,000 MW pada 2025, maka kapasitas terpasang EBT harus tumbuh sekitar 1,5% per tahun padahal saat ini hanya mampu di bawah 0,5% maka jelas pada 2025 hanya akan tercapai tidak lebih dari 15%. - Sebagaimana sudah di kaji oleh ESDM dalam "Buku Putih PLTN 5000 MW", target 23% tidak mungkin tercapai tanpa PLTN. 

Bapennas dalam Policy Brief No 2/2016 tentang PLTNmengatakan "PLTN merupakan alternatif paling akhir sekaligus masuk akal untuk memenuhi kebutuhan pasokan/pembangkitan tenaga listrik seperti diproyeksikan KEN 2015-2050".

Perspektif baru PLTN

Tanpa banyak di sadari oleh banyak orang sejak 2017 telah terjadi pergeseran perspektif tentang PLTN, khususnya pada periode kepemimpinan Menteri ESDM IG Jonan yang bergeser dari perspektif lama ketika PLTN di tetapkan masuk bauran energi pada PERPRES No 5 tahun 2006. Ada beberapa faktor yang membuat terjadinya pergeseren perspektif PLTN ini antara lain : 1) Keadaan ekonomi Indonesia yang dalam keadaan defisit 2) tren industri nuklir dunia terhadap reaktor maju dan reformasi regulasi  3) mulai maraknya lagi isu nuklir di Indonesia.

Berikut adalah lima perspektif baru PLTN, yang di sebabkan ketiga faktor di atas:

Pertama, Dari APBN menjadi IPP; Sebelumnya di asumsikan bahwa PLTN dibiayai oleh APBN dengan asumsi biaya pembangunan sekitar $US 7 Milyar atau sekitar Rp 100 Trilium lebih untuk 1000 MW ($7 Juta per MW). Tetapi pada saat ini sejak adanya defisit anggaran terjadi pergeseran, kebijakan  ESDM tidak lagi  PLTN di bangun dengan APBN tapi sebagai IPP (independent power producer) artinya PLTN di bayar dengan tarif listrik per kwh, bahkan Bapennas juga mendukung kebijakan yang sama. -- Konsekuensinya, yang seharusnya di ajak bicarakan bukan vendor tetapi investor.

Kedua, Harga listrik PLTN dibawah BPP; Sebelumnya di asumsikan bahwa harga jual listrik PLTN pada kisaran $12 cent/kwh yang sebelum 2015 di anggap sebagai wajar bahkan dalam beberapa kajian yang di lakukan oleh ESDM dan PLN, angka Inilah yang di pakai. Tetapi pada saat ini  dimana ESDM berupaya untuk menurunkan BPP listrik sehingga dapat menekan tarif listrik ke masyarakat yang terus naik maka angka $12 cent bila di banding dengan BPP Nasional yang berada pada $7,6 cent per kwh jelas mahal. Pada pertemuan dengan stakeholder Nuklir pada Bulan November 2017, Wamen ESDM mengatakan bahwa harga jual listrik PLTN harus di bawah $7 cent per kwh.

 Ketiga, Opsi terakhir bukan masalah lagi; Sebelumnya persoalan PLTN selalu di benturkan kepada klausul "opsi terakhir" (pasal 11 ayat 3, PP 79/2014) padahal dalam penejelasan pasal tersebut di jelaskan "Namun demikian dalam hal telah dilakukan kajian yang mendalam... serta adanya kepentingan nasional yang mendesak, maka pada dasarnya Energi Nuklir dapat dimanfaatkan". Artinya PLTN dapat di manfaatkan bila ada 2 kondisi yaitu Kajian yang mendalam atau keadaan mendesak.

Wamen ESDM mengatakan "Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) harus benar-benar memerhatikan aspek komersial dan jangan selalu berkutat pada pertanyaan apakah pembangkit listrik tersebut boleh dibangun" seperti di kutip Media Jurnalis, 3/11/2017. -- Jelas dari statemen wamen tersebut bukan lagi isu opsi terakhir tetapi isu murah apa tidak. Bila murah dapat di bangun.

Bahkan dalam Kajian regulasi tentang PLTN yang lakukan oleh Bapennas menyimpulkan bahwa landasan hukum pembangunan PLTN sudah sangat kuat dan klausul opsi terakhir dalam PP 79 tidak dapat menghalangi. Pemerintah tidak perlu ragu-ragu.  (Policy Brief Bapennas no 2/2016).

Keempat, bangun generasi IV; Selama ini yang selalu di wacanakan adalah PLTN generasi III atau III+ atau yang sudah beoperasi secara komersial, yang sebagian besar adalah reaktor berpendingin air (PWR dan BWR) tetapi persoalannya PLTN konvensional tersebut tidak mungkin dapat menjual listriknya di bawah $7 cent per kwh sebagaimana di inginkan oleh ESDM dan PLN. -- Hal ini berbeda dengan PLTN Gen IV seperti MSR yang memang menjadikan bersaing dengan batubara menjadi design parameter sehingga menjual listik di bawah $7 cent bukan sebuah masalah.

Berikutya isu keselamatan yang di angkat oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) yang mengharapkan bahwa PLTN yang di bangun memiliki sistim keselamatan pasif dan sistim keselamatan dapat bertahan tanpa daya listrik minimal 14 hari. Tentunya kedua kondisi tersebut, ekonomis dan keselamatan pasif tidak mungkin dapat di capai oleh PLTN konvesional yang beroperasi saat ini. Satu-satunya yang mungkin adalah PLTN generasi IV, seperti salah satunya Molten Salt Reactor (MSR).

Konsekuensinya bila PLTN generasi IV yang di bangun maka harus ada banyak perubahan dalam regulasi perjinan BAPETEN, yang berbasis PLTN berpendingin air (LWR) dimana jelas beda sama sekali. Regulasi PLTN berpendingin air tidak dapat di pakai untuk menilai PLTN berpendingan non-air. Sama seperti sebuah mobil listrik di uji dengan parameter kendaraan bermesin bensin, sehingga membuat mobil listrik tersebut tidak lolos karena tidak dapat di uji emisi -- Aneh tapi nyata, kejadian ini terjadi pada mobil listrik Dahlan Iskan (23/06/15).

Kelima, Regulasi yang mendukung industri dan teknologi baru; Dalam talkshow "Perpesktif PLTN Pertama di Indonesia" yang di adakan oleh UGM pada tanggal 26/09/18, Kepala BAPETEN Prof Jazi Eko Istiyanto mengatakan bahwa regulasi bila di perlukan bisa dirubah kapan saja, dan regulasi akan di pangkas sesingkat mungkin agar bisnis nuklir semakin marak (Gambar 5).

Gambar 5 - dok pribadi
Gambar 5 - dok pribadi
Statemen Kepala BAPETEN ini tentunya ini merupakan angin segar bagi investor PLTN yang ingin membangun PLTN Gen IV. Jelas telah terjadi sebuah reformasi dalam tubuh BAPETEN karena dalam dokumen BIN tentang Ketahanan Energi (2015), di katakan salah satu kesulitan implementasi PLTN di Indonesia adalah membutuhkan waktu 17 tahun untuk BAPETEN melakukan proses perijinan. - Saat ini dalam berbagai forum bila BAPETEN di tanyakan pertanyaan berapa lama, dijawab dalam waktu 5 - 6 tahun, yang masih dalam batas kewajaran.

Hampir semua pihak setuju, termasuk NRC sendiri, regulator Nuklir AS, bahwa salah satu yang mendongkrak biaya pengembangan PLTN menjadi mahal luar biasa adalah regulasi yang berbelat belit tanpa ada kepastian waktu dan biaya. - Benar sekali statemen Kepala Bapeten, seharusnya regulasi menstimulasi dan mendorong tumbuhnya industri Nuklir bukan justru menghambat.

Oleh sebab itu sikap Kapala BAPETEN tersebut perlu di berikan jempol karena memang di beberapa negara seperti Canada dan Amerika pengembangan PLTN  Generasi IV sedang dilakukan termasuk regulasi yang di butuhkan. 

ThirdWay, sebuah organisasi pro-nuklir mengatakan bahwa  dalam 20 tahun kedepan, Industri Nuklir akan di dominasi oleh reaktor maju (Gen IV), indikasinya terlihat dalam 5 tahun terakhir di Amerika dan Canada telah berdiri 50 perusahaan nuklir baru yang telah menghabiskan dana $1,3 Milyar tanpa bantuan pemerintah . Tetapi untuk itu dapat terjadi regulasi nuklir harus berubah karena saat ini justru menghambat perkembangan teknologi nuklir maju. 

Conggres Amerika menyadari hal tersebut sehingga pada tahun 2017 mengeluarkan 7 UU baru untuk mendukung pemgembangan teknologi reaktor maju dan reformasi regulasi serta birokrasi NRC sehingga adanya kepastian waktu dan biaya  : S.97 - Nuclear Energy Innovation Capabilities Act of 2017, H.R. 1551 - To amend the Internal Revenue Code of 1986 to modify the credit for production from advanced nuclear power facilities, H.R.590 - Advanced Nuclear Technology Development Act of 2017, S.666 - A bill to amend the Internal Revenue Code of 1986 to modify the credit for production from advanced nuclear power facilities, S.512 - Nuclear Energy Innovation and Modernization Act, H.R.431 - Nuclear Energy Innovation Capabilities Act of 2017, S.1457 - Advanced Nuclear Energy Technologies Act. 

Keenam, Bangun Industri Nuklir; Sebelum masalah membangun industri Nuklir tidak pernah masuk dalam pembahasan. Selalu di asumsikan bahwa PLTN di bangun secara procurement atau EPC oleh Vendor seperti Westinghouse, Rosatom atau CGN tanpa memperdulikan apakah PLTN tersebut berkembang menjadi sebuah industri. -- Apakah hanya akan menjadi pemakai sebagaiman Inggris atau UEA sebagai user saja atau seperti Korea Selatan dan China yang akhirnya menjadi sebuah Industri besar.

Tentunya bila Indonesia ingin membangun Industri Nuklir sebagaiman diamanatkan dalam PP No 14/2015 tentang RIPIN (Rencana Induk Industri Nasional) yang juga  di sampaikan oleh Kepala BAPATEN maka pemilihan teknologi dan investor menjadi sangat penting. Jelas perusahan Nuklir besar yang sudah established tidak akan mungkin akan membangun pabrik atau industri di Indonesia.

Pada akhirnya bila perspektif baru PLTN ini di terapkan menjadi kebijakan ketika Indonesia membangun PLTN maka PLTN dapat memberikan solusi terhadap tantangan sektor energi dan Industri Nuklir menjadi sebuah industri maju yang dapat menjadi tulang punggung industri nasional dan pertumbuhan ekonomi.

Dr Kurtubi, anggota Komisi VII DPR RI menyarankan kepada Pemerintah agar PLTN segera di bangun sehingga Indonesia dapat segera menjadi negara maju. - Indonesia menjadi setara dengan negara maju lainnya yang menguasai teknologi Nuklir.

Pesan Presiden Jokowi

Banyak orang selalu menduga bahwa Presiden Jokowi memiliki resistensi terhadap Nuklir, padahal bila di lihat dari pesan Presiden kepada Menteri ESDM saat itu Sudirman Said pada pertemuan 12 Januari 2016,  bahwa bila memang PLTN sudah di butuhkan maka harus segera di putuskan dengan perhitungan yang jelas dan jangan di ambangkan yang di tertulis dalam dokumen Policy Brief Bapennas no 2 tahun 2016. (Gambar 6)

Gambar 6 - Pesan Presiden Jowoki
Gambar 6 - Pesan Presiden Jowoki
 Jelas dari statemen tersebut tidak ada indikasi bahwa Presiden anti terhadap PLTN justru Beliau bertanya 1) Apakah sudah di perlukan ? 2) Kalau memang sudah di kaji dan ternyata diperlukan maka segera menteri ESDM mengambil keputusan. - Bahkan dalam sebuah pertemuan dengan Menko Polhukam Wiranto, pernah menyampaikan kepada penulis bahwa Presiden sangat mendukung PLTN. 

Dari pembahasan di atas jelas  pertanyaan Presiden  "apa sudah di butuhkan?", jawabannya  YA, di butuhkan tetapi bila di butuhkan kajian yang lebih kompehensif maka sebaiknya di bentuk sebuah badan lintas kementrian yang melakukan kajian, persiapan dan pada akhirnya memberikan keputusan. Presiden sangat benar ketika mengatakan "Jangan diambangkan" karena isu nuklir sudah maju-mundur selama lebih dari 30 tahun dan sudah saatnya kementrian ESDM berani mengambil keputusan.

Jadi apa yang harus di lakukan pemerintah berikutnya?

Membentuk Badan Pelaksana Persiapan dan Pembangunan PLTN yang beranggota seluruh K/L terkait termasuk akademisi dan Industri maka semua diskusi pro dan kontra akan ada pada jalurnya dan akan berakhir pada sebuah keputusan. Badan ini sebaiknya di bentuk dengan Perpres yang di ketuai Presiden dan di pimpin oleh seorang ketua Badan setingkat Menteri.

Semoga tulisan ini dapat membuka perspektif baru terhadap PLTN dan menghilangkan kegamangan Pemerintah sehingga yakin dalam mengambil keputusan terhadap PLTN.  

Jakarta 28 September 2018

BSE

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun